OM SWASTIASTU

Da ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buke katah, yadin ririh enu liu pelajahin

Senin, 18 Oktober 2010

Ki Taruna Bali

Menurut para sesepuh desa, dikatakan bahwa ketika itu desa yang ada sekarang, belum terbentuk. Orang-orang tinggal di areal persawahan (pra-desa) yang dekat dengan sungai yang disebut Tukad Buhu. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang tiada henti-hentinya dan menyebabakan banjir dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga menjadi penghambat bagi orang-orang (Krama Desa) sekitarnya untuk melukukan aktifitas mereka, termasuk penguburan mayat. Kemudian timbul keinginan Ide Gde (Bhatara Gde Gumang) untuk mempersatukan gubuk-gubuk tersebut di sebuah tempat yang layak dan terbebas dari banjir.
Untuk tujuan tersebut, maka tempat yang pertama dipilih adalah Pangiyu (lateng ngiyu). Tetapi setelah diperhatikan, tempat tersebut sangat sempit dan kurang mendukung. Kemudian ditinjaulah daerah di bagian timur Bukit Penyu (Bukit Dukuh), yang tenyata terdapat genangan air berwarna biru yang disebut Telaga Ngembeng atau Banu Wka. Tempat ini merupakan tempat yang sangat baik, datar, dan luas, sehingga cocok untuk dijadikan tempat pemukiman untuk sebuah desa. Dengan upaya, menimbun genangan air tersbeut untuk mengumpulkan (mempersatukan) orang-orang yang mendiami gubuk-gubuk yang tersebar di areal persawahan (pra-desa). Setelah lama menimbun genangan air tesebut, tetapi genagan air tetap saja demikian adanya, tidak tertimbun. Setelah hampir mencapai puncak keputusan dari orang-orang yang bekerja menimbun genangan air tersebut, kemudian Ida Gde beryoga dan mempersatukan bayu, sabda, dan idep untuk menyatu (manunggal) dengan Bhatara Kala, tanpa diketahui oleh orang-orang. Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dan gagah perkasa yang merupakan wujud lain dari Ide Gde yang sudah menyatu dengan Bhatara Kala. Orang-orang tidak mengenali siapa sebenarnya yang datang tersebut. Beliau menamakan dirinya Ki Taruna Bali. Perwujudan Dewata inilah yang menyanggupi untuk menimbun genangan air tersebut. Tetapi beliau memberi persyaratan kepada orang-orang agar dirinya ditanggung makan dan minumnya oleh orang-orang yang telah mendirikan gubuk-gubuk sementara di sekitar Telaga Ngembeng tersebut. Orang-orang itupun menyanggupinya untuk menanggung makan dan minumnya hingga selesai.
Setelah beberapa lama melakukan pekerjaan menimbun genangan air tersebut, porsi makan dan minum Ki Taruna Bali semakin hari semakin bertambah. Maka, orang-orang yang tadinya berjanji dan siap untuk menanggung makan dan minumnya menjadi kewalahan. Tidak lama kemudian setelah hampir selesai menimbun genangan iar tersebut, di saat itulah muncul niat yang kurang baik dari orang-orang untuk memperdaya (membinasakan) Ki Taruna Bali. Tetapi Ki Taruna Bali yang merupakan perwujudan Dewata, mengetahui niat orang-orang tersebut. Karena keprihatinan Beliau akan kesetiaan dan ketulusan dari orang-orang tersebut, Ki Taruna Bali yang sangat bijaksana memberikan jalan keluarnya dengan memberikan isyarat da pamoran doeng, yang maksudnya adalah jangan menorehkan kapur saja. Secara lebih luas, maksudnya adalah janganlah senantiasa memiliki niat yang kurang baik seperti itu. Beliau berkata kepada orang-orang agar nantinya ia melakukan kewajiban menyelenggarakan upacara dan upakara babanten pacaruan (caru) lengkap dengan rajah (gambar) wong-wongan Sang Hyang Yamaraja Dhipati Uriping Bhuana pada natar Pura Penataran Bale Agung Desa Pakraman Bugbug, Karangasem. dan dikelilingi oleh tarian rejang. Tarian rejang ini nantinya ditarikan oleh anak-anak mereka yang masih muda yang disebut dengan Daha. Agar selalu ditaati oleh orang-orang yang menjadi Krama Desa hingga kelak, maka terbentuklah desa yang dinamakan desa Bugbug (dalam bahasa Bali berarti pusat atau dipersatukan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon komentar ya....