OM SWASTIASTU

Da ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buke katah, yadin ririh enu liu pelajahin

Senin, 31 Agustus 2009

Babad Dalem Majapahit.

Diceritakan Ida Pandita Hindu yang bergelar Usman Aji dan Ajisaka diutus oleh Ratu Hindu yang bernama Raja Istandar memelihara Pulau Jawa, karena pulau Jawa adalah sangat suci.

Keberangkatan keduanya ini membawa pengikut sebanyak 5.020 orang laki-perempuan. Yang memerintah di Majapahit pada saat ini Prabu Bhrawijaya. Tetapi Majapahit dikacaukan oleh Islam sehingga banyak putri beliau lari beragama Islam.

Adapun putri Bhrawijaya dari Jawa berputra I Bondan Kejawan. Putrinya dari Danuja berputra Arya Damar, putrinya dari Papua berputra I Lembu Peteng dan juga ada putrinya dari Cina yang wajahnya sangat ayu dan menurunkan Arya Damar. Ki Arya Damar memerintah di Palembang dan bergelar Prabu Palembang.

Setelah Majapahit ditinggalkan oleh Arya Damar, ada juga putra beliau yang bernama Arya Sampang yang setelah dewasa diutus untuk ikut kepada kakaknya Arya Damar. Arya Sampang diangkat menjadi patih yang bernama patih Samplangan.

Diceritakan julukan para arya dari dulu seperti Arya Bleteng, Arya Sentong, Arya Benculuk, Arya Waringin, Arya Belog. Sang Arya Samplangan dulunya memilih Arya Jelantik, Arya Pangrurah Dawuh, Arya Palasan, Arya Dalancang, Arya Sidemen, dan Arya Batan Jeruk,

Diceritakan kemudian Putri Cina setelah 12 tahun hamil dan lahirlah Raden Patah.

Patih Gajah Mada dan Patih Supandria yang mempunyai tugas yang berbeda seperti Patih Gajah Mada menjadi penguasa atau panglima dan Patih Supandria menjadi Empu, Patih Gajah Mada lah yang menurunkan Pasek sebanyak delapan buah sedangkan Patih Supandria mendirikan Warga Pande sebanyak lima buah. Putra dari Patih Gajah Mada bernama I Pasek Pangasih, I Pasek Bandesa I Pasek Tangkas, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pagatepan. Anak Ki Patih Supandria adalah Pande-mas, Pande-gong, Pande-wijil, Pande-wesi yang kesemuanya menjadi pemuka di kerajaan Majapahit.

Juga putri Cina ketika hamil delapan tahun melahirkan Raden Kusen, Raden Patah dan Raden Kusen disuruh menghamba ke Majapahit. Tetapi Raden Patah membelok ke Gresik dan Raden Kusen menuju Majapahit. Raden Patah sesampai di Gresik menghadap kepada-Raden Guru Sahimulana. Raden Patah dipungut dan diajar Agama Islam. Setelah Raden Patah mahir dengan ajaran-ajaran Islam, disuruh datang ke Majapahit untuk menggantikan Prabu Majapahit, Raden Patah mengambil istri yang bernama Dewi Supitah disahkan oleh para pendeta sekalian. Setelah itu atas petunjuk dari Raden Mulana mendirikan Kerajaan Demak. Atas perintah dari Raja Majapahit,-Raden Kusen menjadi Senapati melakukan penyerangan ke Demak. Di situ terjadi perdebatan antara kedua orang tersebut. Dalam peperangan ini wafat lah prabu Demak (Raden Patah). Setelah itu Raden Kusen kembali ke Majapahit menghadap kepada prabu, Tetapi para bahudanda Demak seperti Adipati Pengi, Adipati Giri, Adipati Tegal mengadakan penyerangan ke Majapahit, sehingga Majapahit terdesak, Putra Majapahit yang bernama Raden Lembu Peteng dilarikan serta disembunyikan di Maospahit. Sang Prabu Oka terus lari mengungsi siang malam karena dikejar oleh pasukan Demak untuk diislamkan, tetapi beliau dibantu oleh seekor kijang menjangan untuk melarikannya dan diturunkan di Selat Banyu Arum.

Perjalanan beliau dilanjutkan ke Bali dan sampai di Pulaki diiringi oleh para pendeta dan rakyat sekalian, Besoknya perjalanannya dilanjutkan sampai ke Batur dan diutusnya Arya Sampang mendirikan puri di Mengwi. Ida Sang Prabu diceriterakan sampai di Puri Gelgel dan mendirikan, puri yang bernama Puri Smarabawa. Di sini lah Agama Tirta dipertahankan serta dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kemudian Sang Prabu Dalem menempatkan para Arya seperti Dalem Ketut di Sanur, Arya. Jlantik di Karangasem, Arya Kepakisan ditempatkan di Tegal Ambengan Buleleng, Arya Sidemen di Pangalasan.
[Kembali ke atas]

Diceritakan I Gede Bendesa Manik Mas di Jimbaran yang berasal dari Banjar Gading Wani Tegeh ada putranya yang bertempat di Pujungan bernama I Gede Tebya. Putranya di Beratan bernama I Gede Jagra. Diceritakan Ida Padanda Dwijendra pergi ke Gelgel diiringkan oleh Ki Bandesa Manik Mas. Ida Padanda sampai di Sumedang, beliau memprelina rakyat sebanyak 800 orang karena putrinya Dewi Swabawa disembunyikan orang rakyat tersebut. Desa itu kini diberi nama Pulaki.

Para pangeran dari Purusa seperti I Gede Pasek Gelgel, I Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tankenyudurian, I Gede Kabayan, I Gede Pamregan, dan I Gede Abyan Tubuh. Para pangeran dari pradana adalah I Gede Bala Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Salahin, I Gede Komoning dan I Gede Lurah. Diceritakan keturunan dari Pangeran I Pasek Gelgel yaitu sebanyak delapan orang yang bernama Pangeran Gelgel, Pangeran Abyan Tubuh, Pangeran Selat, Pangeran Sebetan, Pangeran Dangan, Pangeran Batur dan I Pangeran Anyaran.

Keturunan Pasek Bali yaitu Pasek Kedisan, Pasek Sukawana, Pasek Taro, dan Pasek Celagi, Keturunan I Bandesa Gelgel adalah I Bandesa Gelgel dan I Pangeran Manik Mas. Pangeran Manik Mas menurunkan I Gede Manik Mas dan I Gede Pasar. Badung, I Gusti Nengah Sebetan Karangasem menjalankan daya upaya untuk menghancurkan Dalem Bali, dengan cara Ida Dalem diutus datang ke Besakih. Tetapi sampai di Karangasem, Sri Aji Dalem dikurung serta dipenjara/ ditawan. Dengan demikian para putra Dalem lari terlunta-lunta meninggalkan puri Gelgel. Diceritakan keturunan I Pasek Kabayan ada yang ke Batur, ada ke Tabanan, ada ke Baturiti, ke Pajaten, ke Beda, ke Kerambitan, ke Antasari, ke Sanda, ke Wongaya, ke Gobleg, dan ada juga yang ke Pangastulan. Serta keturunannya I Gede Kabayan ada yang ke Sukasada, ke Liligundi, ke Tamblang.

Diceritakan keluarga dari I Gede Abyan Tubuh mengungsi ke Pandak, Badung, Sibang, Beranjingan, Sanda, di Buleleng, di Banjar. Keturunan dari I Gede Gelgel, di Gianyar, di Blahbatuh, Mengwi, Badung, Tabanan dan di Buleleng.

Diceritakan I Gede Bandesa Selat menyebar keturunannya, ada di Apuan, Duda, Ptiga, Tianyar, Taman Bali, Panarungan, Marga, Blantih, Pacung, Senganan, Biawung, Penebel, Sembung, Pujungan, Jembrana, dan di Buleleng. Keturunan I Gede Samping adalah di Badung, Mengwi, Marga Blayu, Deda, Tabanan, Kerambitan, Klating, Jembrana. I Gede Bandesa Mas pergi dari Gelgel menyebar, yang tertua bernama I Gede Domia, tinggal di Mas.

I Gede Pasar Badung pindah dari Gelgel ada di Gianyar, ke Blahbatuh, Negari, Badung, Pandak, Tabanan, Pangkung Tibah, Penebel, Jegu, Tegal Linggah, dan ke Timpag. Anak dari I Gede Bandesa Mas, yang tertua I Bandesa Kayu Mas tinggal di Lor Bukit di desa Banjar serta turun temurun. Juga banyak yang tinggal di Buleleng, di Jembrana.

Babad Pulesari

Prawacana penulis, memohon restu kepada Tuhan agar memperoleh kebahagiaan turun temurun.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali secara singkat hingga takluknya pulau Bali, tertawannya Ki Pasung Grigis, Pulau Bali belum mempunyai kepala pemerintahan.
Danghyang Kepakisan seorang pendeta Sakti.
Dengan kesaktian yoga memperoleh seorang putra diberi nama Sri Kresna Wang Bang Kepakisan, juga mahir dalam berbagai ilmu berkat pendidikan Danghyang Kepakisan.
Kemudian anak itu diserahkan kepada Kryan Patih Mada sesuai dengan permohonannya, untuk dilanjutkan diserahkan kepada Raja Majapahit.
Setelah diuji oleh Patih Mada, maka dimohon untuk dijadikan raja di Bali.
Raja Majapahit belum mengijinkan, dan Sri Kresna Wang Bang Kepakisan sementara berada di istana Majapahit.
Untuk sementara Maha Patih Mada mengirim Mpu Dwijaksara, untuk menata di pulau Bali, terutama memelihara pura pura (Sad Kahyangan) di Bali.
Sri Kresna Wang Bang Kepakisan berputra tiga orang laki-laki dan seorang wanita.
Semua diserahkan kepada Maharaja Majapahit, dan beliau melaksanakan tugas kependetaan.
Keempat orang putra itu dididik di istana Majapahit.
Di Bali dirasakan perlu segera ada pemimpinnya.
Maka putra Mpu Dwijaksara (Patih Hulung) mengadakan persidangan. Sidang itu memutuskan untuk mengirim utusan ke Majapahit memohon seorang raja.
Yang memimpin perutusan itu adalah putra Mpu Dwijaksara.
Setelah mempermaklumkan keadaan di Bali, maka Gajah Mada mengabulkan permohonannya, dengan permintaan agar istana Patih Gajah Mada di Samprangan diperbaiki untuk tempat raja yang akan datang nanti.
Maha Patih Gajah Mada segera mempermaklumkan kepada Maharaja Majapahit, dan memohon keempat putra Sri Kresna Wang Bang Kepakisan untuk diangkat menjadi raja atau adipati di luar Majapahit.
Yang tertua di Blangbangan, yang kedua di Pasuruhan, yang ketiga wanita di Sumbawa, dan yang bungsu di Bali.
Maharaja Majapahit menyetujui, maka segera dilaksanakan upacara pelantikan, dipuja oleh Danghyang Kepakisan.
Adipati Bali bergelar Sri Maharaja Dalem Kresna Kepakisan. Beristri di Samprangan, lengkap dengan peralatan kebesaran.
Keris Si Jangkung Mangilo dan tumbak Si Olang Guguh.
Dibantu oleh para Arya yang ditempatkan tersebar di daerah daerah yang dianggap penting.
Dalem mengadakan pertemuan dengan pejabat pejabat terdahulu yang dipimpin oleh putra Mpu Dwijaksara.
Mereka melaporkan bahwa pembangunan belum berjalan sebagaimana mestinya, karena rakyat Bali ragu ragu atas kepemimpinan yang belum dilantik.
Akhirnya Dalem menganugrahkan nama Patih Hulung kepada putra Mpu Dwijaksara sekeluarga, dan menetapkan berkedudukan wesya, dengan sebutan Bandesa Pasek.
Langsung Dalem membagi bagikan tugas masing-masing.
Sri Maharaja Dalem Kresna Kepakisan berputra tiga orang pria. Yang sulung Dalem Samprangan, kedua Dalem Tarukan, yang bungsu Dalem Ketut.
Dalem Samprangan: Menggantikan ayahnya menjadi raja. Semula jalan pemerintahan amat baik. Kemudian baginda tergoda oleh bidadari (permaisuri yang cantik) hingga menjadi linglung, dan gemar bersolek, sehingga pemerintahan tidak mendapat perhatian.
Dalem Ketut: Baginda berwajah tampan. Namun hatinya amat terikat indria, terpikat perjudian, gemar berkeliling mengadu ayam. Baginda bermukim di desa Pandak, disenangi oleh masyarakat di sana, sebagai balas budi baginda berjanji bila baginda berkuasa nanti masyarakat dihadiahi predikat atau nama Sanghyang.
Dalem Taruk: Kelakuan beliau seperti orang gila. Hingga Masyarakat menjauhi dirinya. Mempunyai seorang anak asuh bernama Sirarya Kuda Panandang Kajar, putra Tumenggung Pasuruhan.
Ia amat, disayang oleh Dalem Taruk karena rupanya tampan, bijaksana dan banyak keahliannya.
Dalem Taruk mempunyai seekor kuda tunggangan berwarna hitam, diberi nama Gagak Gora, pandai menari, dihiasi yang indah, setiap hari dijadikan hiburan.
Entah beberapa, lama berselang, Dalem Taruk mendengar berita bahwa Dalem Samprangan kurang memperhatikan pemerintahan, maka beliau bermaksud mencari Dalem Ketut ke Pandak, agar menggantikan jadi raja. Karena beliau sendiri tidak berminat menjadi raja. Beliau ingin melaksanakan ajaran kependetaan. Namun rahasia penjelmaan manusia belum juga terpecahkan, sehingga lakunya seperti orang bingung. Kemudian Dalem Taruk mengutus Sirarya Kuda Panandang Kajar untuk mencari adindanya, Dalem Ketut Semara Giri (Dalem Ngulesir) ke Pandak. Semua perlengkapan kebesaran kerajaan telah disiapkan. Setibanya di Pandak, Kuda Panandang Kajar segera menyampaikan pesan Dalem Taruk sambil mempersembahkan segala kirimannya. Walau berbagai upaya dilakukan, namun ditolak dengan tegas. Sirarya Kuda Panandang Kajar pulang dengan tangan hampa serta diselimuti firasat buruk bagi dirinya.
Demikian pula Dalem Taruk semakin bingung setelah mendengar laporan utusan itu.
Keadaan di Samprangan menjadi pasif, karena semua merasa takut akan kesaktian Keris Si Tanda Langlang.
Tersebut bahwa I Gusti Ngurah Abyan Tubuh, seolah-olah memperoleh wahyu dari Tuhan agar mencari Dalem Ketut.
Keesokan harinya beliau beserta rombongannya menghadap ke Samprangan.
Tetapi tidak dapat menghadap raja, sebab Dalem sibuk bersolek. Dengan penuh kecewa, I Gusti Ngurah Abyan Tubuh (Kyayi Bandesa Gelgel) langsung pergi ke Pandak mencari Dalem Ketut. Terjadi dialog antara Dalem Ketut dengan Kyayi Bandesa Gelgel.
Walaupun mulanya Dalem Ketut menolak, namun karena desakan nada tegas dan meyakinkan Kyayi Bandesa, akhirnya Dalem Ketut mau menjadi raja.
Kyayi Bandesa merelakan rumahnya untuk dijadikan istana, dan seorang putrinya untuk dijadikan permaisuri.
Mulailah kerajaan Gelgel diperintah oleh raja Dalem Ketut Semara Kepakisan. Para menteri terpaksa dibagi dua, ada yang di Gelgel, yang tetap di Samprangan.
Dalem Samprangan tidak memperhatikan hal itu.
Firasat Kuda Panandang Kajar dulu, menjadi kenyataan. Ia jatuh sakit berat, sukar untuk diobati. Dalem Taruk karena amat sayangnya, maka beliau berkaul bila sembuh akan dinikahkan dengan putri Dalem Samprangan. Ternyata kaul itu mujarab. Tanpa diobati Kuda pun sembuh. Dalem Taruk hendak menikahkan Kuda Panandang Kajar dengan putri Dalem Samprangan. Kuda Panandang Kajar tidak kuasa menolak kehendak Dalem Taruk, dengan tipu, muslihat dipertemukan lah Kuda Panandang Kajar dengan putri Dalem Samprangan secara paksa.
Malang bagi mereka, tengah bersenggama datanglah Keris Ki Tanda Langlang menikam kedua insan itu hingga meninggal seketika. Berita kejadian itu sampai kepada Dalem Samprangan. Baginda pun amat murka, dan mengerahkan semua kekuatan untuk menghancurkan Dalem Taruk.
Puri Tarukan diserang dari segala penjuru, tetapi Dalem Taruk telah lebih dahulu meninggalkan istana.
Pasukan diatur kembali ke segala jurusan untuk mengejar Dalem Taruk.
Dalem Taruk dengan berbagai cara dan siasat bersembunyi di sebelah selatan desa Tampuagan, hingga pasukan yang mengejar kembali hampa tangan.
Dalem langsung menuju pondok Ki Dukuh Pantunan. Ki Dukuh menerima dengan baik dan menjamu menurut kemampuannya.

[Kembali ke atas]

Masyarakat pegunungan amat hormat dan setia kepada Dalem Taruk. Dalem meminta agar masyarakat memanggil dirinya, Gusti atau Jero agar tidak terungkap persembunyiannya. Lama beliau di sana hingga sempat bercocoktanam dan memperdalam keagamaan.
Setelah setahun berselang Dalem Samprangan memerintahkan menggempur Dalem Taruk lagi. Ki Dukuh telah mengetahui rencana itu, segera mengungsikan Dalem Taruk ke tempat persembunyian. Sehingga pasukan yang menggeledah rumah Ki Dukuh kembali dengan tangan hampa. Mulai saat itu Dalem Taruk berpantang makan jawa, jali dan burung titiran (perkutut), karena diselamatkan oleh rumpun rumpun pepohonan itu serta adanya burung titirn yang berkicau di atasnya.
Hal ini diwasiatkan turun temurun.
Ki Dukuh Pantunan tetap mengupayakan persembunyian untuk keselamatan Dalem Taruk.
Suatu saat Dalem dianjurkan agar bersembunyi pada I Gusti Ngurah Poh Landung di desa Poh Tegeh. Dalem Taruk menyetujuinya. Namun I Gusti Poh Landung mencegah Dalem menyeberang ke Jawa, sebagai gantinya diberikan perlindungan di Janggala Sekar.
Dalem Taruk menikahi putri I Gusti Poh Landung bernama Ni Gusti Luh Cwaji (Kwanji).
Dalem Taruk berputra dua orang bernama Gusti Gde Sekar, dan Gusti Gde Pulesari.
Dalem Taruk juga memperistri putri Ki Dukuh Darmaji bernama Ni Luh Made Sari berputra Gusti Gde Balangan, dan Ni Luh Wanagiri.
Desa desa sekitar dengan pemuka-pemukanya amat setia kepada Dalem Taruk.
Dengan wafatnya Dalem Samprangan, kerajaan Gelgel di bawah Dalem Ketut, semakin berkembang. Kemakmuran terjamin dengan baik.
Dalem Taruk telah mendengar hal itu.
Beliau berpindah ke tepi pantai di timur desa Crutcut (Tianyar), bersama seluruh anak istrinya.
Beliau minta kepada masyarakat agar tetap merahasiakan keberadaannya.
Masyarakat diminta menyebutnya Gusti. Kemudian desa itu diberi nama Sukadana. Di sana putrinya meninggal dunia, langsung dibuatkan upacara pembakaran jenasah.
Dalem kembali ke Poh Tegeh, bermaksud kembali ke Samprangan meninjau istrinya yang sedang hamil ketika di tinggalkan, namun dilarang oleh I Gusti Poh Landung.
Akhirnya Dalem Taruk bermukim di desa Sidaparna.
Dari Sidaparna pindah lagi ke pegunungan Panida yang kemudian terkenal dengan nama Pulesanten (Pulesari).
Dalem telah menjadi seorang bujangga (serupa pendeta). Sering memuja dan memuput upacara dalam masyarakat pedesaan itu.
Tersebutlah putra Dalem Taruk di puri Tarukan, yang bernama I Dewa Gede Sekar, atau I Dewa Gede Muter, sudah remaja putra berparas tampan dan simpatik.
Beliau dibesarkan oleh inang pengasuh, I Dewa Gde Muter mendengar riwayat ayahnya dari pengasuh itu. Segera mengambil keputusan untuk mencari ayahnya. Ia pun berjalan termangu karena belum mengenal paras orang yang dicarinya.
Kemudian berjumpa dengan seseorang sedang membajak, karena terjadi kesalahpahaman maka timbul percekcokan, bahkan perkelahian. Untuk tidak menelan korban, karena keduanya itu adalah ayah dengan anak, Dalem Taruk dengan I Dewa Gde Muter.
Suasana perkelahian berubah menjadi suasana kerinduan dan kasih sayang yang mendalam. Selanjutnya mereka pulang ke Pondok Dalem Taruk, terjadi pertemuan yang akrab antara kakak dengan adik adiknya. I Dewa Gde Muter bersumpah setia kepada ayahnya.
Dalem Taruk beristrikan pula putri I Gusti Agung di Bancang Sidem berputra Gusti Belayu dan Gusti Dangin.
Dalem Taruk sudah amat tua, pekerjaannya hanya menghayati Weda (tugas pendeta), menyelesaikan upacara agama. Desa desa semakin banyak yang cinta kepada beliau sampai dengan Ponjokbatu, Tianyar, Culik, Keladian dan lain lain.
Kemudian beliau Dalem Taruk pun meninggal, dilakukan upacara Atiwa-tiwa oleh putra putranya dibantu oleh pemuka-pemuka desa terutama I Gusti Ngurah Poh Landung, dilanjutkan dengan Patileman.
Upacara dilaksanakan dengan amat mewah.
Berita tentang meninggal dan upacara Atiwa-tiwa Dalem Taruk di desa Pulesari telah sampai kepada Dalem Ketut di Gelgel.
Dalem Ketut mengirim utusan untuk memanggil putra- putra Dalem Taruk agar menghadap ke Gelgel. Yang diutus adalah Kyayi Kaler saudara Kryan Telabah.
I Dewa Gde Muter tidak bersedia menghadap.
I Dewa Gde Muter menyampaikan wasiat ayahnya kepada adik adiknya, untuk tidak kembali ke kota (Gelgel).
Adik-adiknya semua menurut.
Dalem Ketut sebagai raja Gelgel merasa kewibawaannya diabaikan, padahal beliau tidak bermaksud buruk.
Maka utusan yang kedua dan ketiga untuk memanggil putra-putra Dalem Taruk dikirmkan, tetap tidak berhasil.
I Dewa Gde Muter memperoleh informasi bahwa akan diserang oleh pasukan Dalem Gelgel, maka ia mengadakan persiapan bersama pemuka-pemuka masyarakat yang setia antara lain I Gusti Ngurah Poh Landung, Gusti Ngurah Pande, Gusti Ngurah Keladian, Gusti Agung Bekung, I Dewa Ngurah Kubakal.
Dalem Ketut mengirim pasukan untuk menyerang Dalem Taruk di bawah pimpinan Kyayi Anglurah Denpasar, Kyayi Anglurah Tabanan, Kyayi Anglurah Karangasem, Kyayi Anglurah Kapal.
Pertempuran hebat tak terelakkan, banyak korban berjatuhan, akhirnya pertempuran dihentikan dengan datangnya malam.
Dalem memanggil pasukannya, untuk tidak telanjur banyak jatuh korban, diatur cara yang lain hingga satu tahun terhenti.
Dalem mengirim utusan kembali yaitu Kyayi Buringkit, karena ada hubungan keluarga dengan Kyayi Anglurah Keladian, sama-sama keturunan Arya Belog.
Diadakan perundingan agar pemuka-pemuka masyarakat jangan bertahan sebab Dalem bermaksud baik kepada kemenakan-kemenakannya.
Utusan itu kembali melaporkan tiga orang perbekel Kyayi Ngurah Pande, I Dewa Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Keladian bersedia membantu Dalem.
Namun I Gusti Gde Poh Tegeh, Gusti Ngurah Bekung tetap bertahan bersama I Dewa Gde Muter.
Terpaksa dilakukan penyerangan yang kedua di bawah pimpinan Kyayi Bandesa Kubon Tubuh, Kyayi Anglurah Denpasar, Anglurah Tabanan, Anglurah Kapal dengan pasukannya.
Terjadi pertempuran amat hebat.
Korban berguguran terutama gugurnya I Dewa Gde Muter yang berhadapan dengan pasukan Anglurah Denpasar dan Kyayi Kubon Tubuh. Gusti Poh Tegeh hendak maju membela, namun dicegah oleh cucu-cucunya, Gusti Gde Sekar, akhirnya menyatakan diri takluk. Akhirnya diadakan perundingan gencatan senjata di Nyanggelan. Keesokan harinya Gusti Ngurah Poh Landung dan putra-putra Dalem Taruk lainnya menghadap ke Gelgel, hanya Gusti Dangin tetap tidak mau menghadap ke Gelgel, akhirnya malah ke Buleleng.
Di tempat-tempat kejadian itu didirikan tugu-tugu dan pura, antara lain di Sujang Kangin.
Setelah menghadap ke Gelgel, Dalem Ketut menerima dengan senang hati, dan berpetuah kepada semua putra Dalem Taruk, serta memberikan piagam untuk dijadikan pedoman pelaksanaan upacara adat waktu hidup dan pelaksanaan upacara kematian lengkap dengan Gambar Kajang.