OM SWASTIASTU

Da ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buke katah, yadin ririh enu liu pelajahin

Senin, 31 Agustus 2009

Babad Dalem Majapahit.

Diceritakan Ida Pandita Hindu yang bergelar Usman Aji dan Ajisaka diutus oleh Ratu Hindu yang bernama Raja Istandar memelihara Pulau Jawa, karena pulau Jawa adalah sangat suci.

Keberangkatan keduanya ini membawa pengikut sebanyak 5.020 orang laki-perempuan. Yang memerintah di Majapahit pada saat ini Prabu Bhrawijaya. Tetapi Majapahit dikacaukan oleh Islam sehingga banyak putri beliau lari beragama Islam.

Adapun putri Bhrawijaya dari Jawa berputra I Bondan Kejawan. Putrinya dari Danuja berputra Arya Damar, putrinya dari Papua berputra I Lembu Peteng dan juga ada putrinya dari Cina yang wajahnya sangat ayu dan menurunkan Arya Damar. Ki Arya Damar memerintah di Palembang dan bergelar Prabu Palembang.

Setelah Majapahit ditinggalkan oleh Arya Damar, ada juga putra beliau yang bernama Arya Sampang yang setelah dewasa diutus untuk ikut kepada kakaknya Arya Damar. Arya Sampang diangkat menjadi patih yang bernama patih Samplangan.

Diceritakan julukan para arya dari dulu seperti Arya Bleteng, Arya Sentong, Arya Benculuk, Arya Waringin, Arya Belog. Sang Arya Samplangan dulunya memilih Arya Jelantik, Arya Pangrurah Dawuh, Arya Palasan, Arya Dalancang, Arya Sidemen, dan Arya Batan Jeruk,

Diceritakan kemudian Putri Cina setelah 12 tahun hamil dan lahirlah Raden Patah.

Patih Gajah Mada dan Patih Supandria yang mempunyai tugas yang berbeda seperti Patih Gajah Mada menjadi penguasa atau panglima dan Patih Supandria menjadi Empu, Patih Gajah Mada lah yang menurunkan Pasek sebanyak delapan buah sedangkan Patih Supandria mendirikan Warga Pande sebanyak lima buah. Putra dari Patih Gajah Mada bernama I Pasek Pangasih, I Pasek Bandesa I Pasek Tangkas, I Pasek Ngukuhin, I Pasek Pagatepan. Anak Ki Patih Supandria adalah Pande-mas, Pande-gong, Pande-wijil, Pande-wesi yang kesemuanya menjadi pemuka di kerajaan Majapahit.

Juga putri Cina ketika hamil delapan tahun melahirkan Raden Kusen, Raden Patah dan Raden Kusen disuruh menghamba ke Majapahit. Tetapi Raden Patah membelok ke Gresik dan Raden Kusen menuju Majapahit. Raden Patah sesampai di Gresik menghadap kepada-Raden Guru Sahimulana. Raden Patah dipungut dan diajar Agama Islam. Setelah Raden Patah mahir dengan ajaran-ajaran Islam, disuruh datang ke Majapahit untuk menggantikan Prabu Majapahit, Raden Patah mengambil istri yang bernama Dewi Supitah disahkan oleh para pendeta sekalian. Setelah itu atas petunjuk dari Raden Mulana mendirikan Kerajaan Demak. Atas perintah dari Raja Majapahit,-Raden Kusen menjadi Senapati melakukan penyerangan ke Demak. Di situ terjadi perdebatan antara kedua orang tersebut. Dalam peperangan ini wafat lah prabu Demak (Raden Patah). Setelah itu Raden Kusen kembali ke Majapahit menghadap kepada prabu, Tetapi para bahudanda Demak seperti Adipati Pengi, Adipati Giri, Adipati Tegal mengadakan penyerangan ke Majapahit, sehingga Majapahit terdesak, Putra Majapahit yang bernama Raden Lembu Peteng dilarikan serta disembunyikan di Maospahit. Sang Prabu Oka terus lari mengungsi siang malam karena dikejar oleh pasukan Demak untuk diislamkan, tetapi beliau dibantu oleh seekor kijang menjangan untuk melarikannya dan diturunkan di Selat Banyu Arum.

Perjalanan beliau dilanjutkan ke Bali dan sampai di Pulaki diiringi oleh para pendeta dan rakyat sekalian, Besoknya perjalanannya dilanjutkan sampai ke Batur dan diutusnya Arya Sampang mendirikan puri di Mengwi. Ida Sang Prabu diceriterakan sampai di Puri Gelgel dan mendirikan, puri yang bernama Puri Smarabawa. Di sini lah Agama Tirta dipertahankan serta dilaksanakan sebagai mana mestinya. Kemudian Sang Prabu Dalem menempatkan para Arya seperti Dalem Ketut di Sanur, Arya. Jlantik di Karangasem, Arya Kepakisan ditempatkan di Tegal Ambengan Buleleng, Arya Sidemen di Pangalasan.
[Kembali ke atas]

Diceritakan I Gede Bendesa Manik Mas di Jimbaran yang berasal dari Banjar Gading Wani Tegeh ada putranya yang bertempat di Pujungan bernama I Gede Tebya. Putranya di Beratan bernama I Gede Jagra. Diceritakan Ida Padanda Dwijendra pergi ke Gelgel diiringkan oleh Ki Bandesa Manik Mas. Ida Padanda sampai di Sumedang, beliau memprelina rakyat sebanyak 800 orang karena putrinya Dewi Swabawa disembunyikan orang rakyat tersebut. Desa itu kini diberi nama Pulaki.

Para pangeran dari Purusa seperti I Gede Pasek Gelgel, I Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tankenyudurian, I Gede Kabayan, I Gede Pamregan, dan I Gede Abyan Tubuh. Para pangeran dari pradana adalah I Gede Bala Pulasari, I Gede Bandem, I Gede Salahin, I Gede Komoning dan I Gede Lurah. Diceritakan keturunan dari Pangeran I Pasek Gelgel yaitu sebanyak delapan orang yang bernama Pangeran Gelgel, Pangeran Abyan Tubuh, Pangeran Selat, Pangeran Sebetan, Pangeran Dangan, Pangeran Batur dan I Pangeran Anyaran.

Keturunan Pasek Bali yaitu Pasek Kedisan, Pasek Sukawana, Pasek Taro, dan Pasek Celagi, Keturunan I Bandesa Gelgel adalah I Bandesa Gelgel dan I Pangeran Manik Mas. Pangeran Manik Mas menurunkan I Gede Manik Mas dan I Gede Pasar. Badung, I Gusti Nengah Sebetan Karangasem menjalankan daya upaya untuk menghancurkan Dalem Bali, dengan cara Ida Dalem diutus datang ke Besakih. Tetapi sampai di Karangasem, Sri Aji Dalem dikurung serta dipenjara/ ditawan. Dengan demikian para putra Dalem lari terlunta-lunta meninggalkan puri Gelgel. Diceritakan keturunan I Pasek Kabayan ada yang ke Batur, ada ke Tabanan, ada ke Baturiti, ke Pajaten, ke Beda, ke Kerambitan, ke Antasari, ke Sanda, ke Wongaya, ke Gobleg, dan ada juga yang ke Pangastulan. Serta keturunannya I Gede Kabayan ada yang ke Sukasada, ke Liligundi, ke Tamblang.

Diceritakan keluarga dari I Gede Abyan Tubuh mengungsi ke Pandak, Badung, Sibang, Beranjingan, Sanda, di Buleleng, di Banjar. Keturunan dari I Gede Gelgel, di Gianyar, di Blahbatuh, Mengwi, Badung, Tabanan dan di Buleleng.

Diceritakan I Gede Bandesa Selat menyebar keturunannya, ada di Apuan, Duda, Ptiga, Tianyar, Taman Bali, Panarungan, Marga, Blantih, Pacung, Senganan, Biawung, Penebel, Sembung, Pujungan, Jembrana, dan di Buleleng. Keturunan I Gede Samping adalah di Badung, Mengwi, Marga Blayu, Deda, Tabanan, Kerambitan, Klating, Jembrana. I Gede Bandesa Mas pergi dari Gelgel menyebar, yang tertua bernama I Gede Domia, tinggal di Mas.

I Gede Pasar Badung pindah dari Gelgel ada di Gianyar, ke Blahbatuh, Negari, Badung, Pandak, Tabanan, Pangkung Tibah, Penebel, Jegu, Tegal Linggah, dan ke Timpag. Anak dari I Gede Bandesa Mas, yang tertua I Bandesa Kayu Mas tinggal di Lor Bukit di desa Banjar serta turun temurun. Juga banyak yang tinggal di Buleleng, di Jembrana.

Babad Pulesari

Prawacana penulis, memohon restu kepada Tuhan agar memperoleh kebahagiaan turun temurun.
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali secara singkat hingga takluknya pulau Bali, tertawannya Ki Pasung Grigis, Pulau Bali belum mempunyai kepala pemerintahan.
Danghyang Kepakisan seorang pendeta Sakti.
Dengan kesaktian yoga memperoleh seorang putra diberi nama Sri Kresna Wang Bang Kepakisan, juga mahir dalam berbagai ilmu berkat pendidikan Danghyang Kepakisan.
Kemudian anak itu diserahkan kepada Kryan Patih Mada sesuai dengan permohonannya, untuk dilanjutkan diserahkan kepada Raja Majapahit.
Setelah diuji oleh Patih Mada, maka dimohon untuk dijadikan raja di Bali.
Raja Majapahit belum mengijinkan, dan Sri Kresna Wang Bang Kepakisan sementara berada di istana Majapahit.
Untuk sementara Maha Patih Mada mengirim Mpu Dwijaksara, untuk menata di pulau Bali, terutama memelihara pura pura (Sad Kahyangan) di Bali.
Sri Kresna Wang Bang Kepakisan berputra tiga orang laki-laki dan seorang wanita.
Semua diserahkan kepada Maharaja Majapahit, dan beliau melaksanakan tugas kependetaan.
Keempat orang putra itu dididik di istana Majapahit.
Di Bali dirasakan perlu segera ada pemimpinnya.
Maka putra Mpu Dwijaksara (Patih Hulung) mengadakan persidangan. Sidang itu memutuskan untuk mengirim utusan ke Majapahit memohon seorang raja.
Yang memimpin perutusan itu adalah putra Mpu Dwijaksara.
Setelah mempermaklumkan keadaan di Bali, maka Gajah Mada mengabulkan permohonannya, dengan permintaan agar istana Patih Gajah Mada di Samprangan diperbaiki untuk tempat raja yang akan datang nanti.
Maha Patih Gajah Mada segera mempermaklumkan kepada Maharaja Majapahit, dan memohon keempat putra Sri Kresna Wang Bang Kepakisan untuk diangkat menjadi raja atau adipati di luar Majapahit.
Yang tertua di Blangbangan, yang kedua di Pasuruhan, yang ketiga wanita di Sumbawa, dan yang bungsu di Bali.
Maharaja Majapahit menyetujui, maka segera dilaksanakan upacara pelantikan, dipuja oleh Danghyang Kepakisan.
Adipati Bali bergelar Sri Maharaja Dalem Kresna Kepakisan. Beristri di Samprangan, lengkap dengan peralatan kebesaran.
Keris Si Jangkung Mangilo dan tumbak Si Olang Guguh.
Dibantu oleh para Arya yang ditempatkan tersebar di daerah daerah yang dianggap penting.
Dalem mengadakan pertemuan dengan pejabat pejabat terdahulu yang dipimpin oleh putra Mpu Dwijaksara.
Mereka melaporkan bahwa pembangunan belum berjalan sebagaimana mestinya, karena rakyat Bali ragu ragu atas kepemimpinan yang belum dilantik.
Akhirnya Dalem menganugrahkan nama Patih Hulung kepada putra Mpu Dwijaksara sekeluarga, dan menetapkan berkedudukan wesya, dengan sebutan Bandesa Pasek.
Langsung Dalem membagi bagikan tugas masing-masing.
Sri Maharaja Dalem Kresna Kepakisan berputra tiga orang pria. Yang sulung Dalem Samprangan, kedua Dalem Tarukan, yang bungsu Dalem Ketut.
Dalem Samprangan: Menggantikan ayahnya menjadi raja. Semula jalan pemerintahan amat baik. Kemudian baginda tergoda oleh bidadari (permaisuri yang cantik) hingga menjadi linglung, dan gemar bersolek, sehingga pemerintahan tidak mendapat perhatian.
Dalem Ketut: Baginda berwajah tampan. Namun hatinya amat terikat indria, terpikat perjudian, gemar berkeliling mengadu ayam. Baginda bermukim di desa Pandak, disenangi oleh masyarakat di sana, sebagai balas budi baginda berjanji bila baginda berkuasa nanti masyarakat dihadiahi predikat atau nama Sanghyang.
Dalem Taruk: Kelakuan beliau seperti orang gila. Hingga Masyarakat menjauhi dirinya. Mempunyai seorang anak asuh bernama Sirarya Kuda Panandang Kajar, putra Tumenggung Pasuruhan.
Ia amat, disayang oleh Dalem Taruk karena rupanya tampan, bijaksana dan banyak keahliannya.
Dalem Taruk mempunyai seekor kuda tunggangan berwarna hitam, diberi nama Gagak Gora, pandai menari, dihiasi yang indah, setiap hari dijadikan hiburan.
Entah beberapa, lama berselang, Dalem Taruk mendengar berita bahwa Dalem Samprangan kurang memperhatikan pemerintahan, maka beliau bermaksud mencari Dalem Ketut ke Pandak, agar menggantikan jadi raja. Karena beliau sendiri tidak berminat menjadi raja. Beliau ingin melaksanakan ajaran kependetaan. Namun rahasia penjelmaan manusia belum juga terpecahkan, sehingga lakunya seperti orang bingung. Kemudian Dalem Taruk mengutus Sirarya Kuda Panandang Kajar untuk mencari adindanya, Dalem Ketut Semara Giri (Dalem Ngulesir) ke Pandak. Semua perlengkapan kebesaran kerajaan telah disiapkan. Setibanya di Pandak, Kuda Panandang Kajar segera menyampaikan pesan Dalem Taruk sambil mempersembahkan segala kirimannya. Walau berbagai upaya dilakukan, namun ditolak dengan tegas. Sirarya Kuda Panandang Kajar pulang dengan tangan hampa serta diselimuti firasat buruk bagi dirinya.
Demikian pula Dalem Taruk semakin bingung setelah mendengar laporan utusan itu.
Keadaan di Samprangan menjadi pasif, karena semua merasa takut akan kesaktian Keris Si Tanda Langlang.
Tersebut bahwa I Gusti Ngurah Abyan Tubuh, seolah-olah memperoleh wahyu dari Tuhan agar mencari Dalem Ketut.
Keesokan harinya beliau beserta rombongannya menghadap ke Samprangan.
Tetapi tidak dapat menghadap raja, sebab Dalem sibuk bersolek. Dengan penuh kecewa, I Gusti Ngurah Abyan Tubuh (Kyayi Bandesa Gelgel) langsung pergi ke Pandak mencari Dalem Ketut. Terjadi dialog antara Dalem Ketut dengan Kyayi Bandesa Gelgel.
Walaupun mulanya Dalem Ketut menolak, namun karena desakan nada tegas dan meyakinkan Kyayi Bandesa, akhirnya Dalem Ketut mau menjadi raja.
Kyayi Bandesa merelakan rumahnya untuk dijadikan istana, dan seorang putrinya untuk dijadikan permaisuri.
Mulailah kerajaan Gelgel diperintah oleh raja Dalem Ketut Semara Kepakisan. Para menteri terpaksa dibagi dua, ada yang di Gelgel, yang tetap di Samprangan.
Dalem Samprangan tidak memperhatikan hal itu.
Firasat Kuda Panandang Kajar dulu, menjadi kenyataan. Ia jatuh sakit berat, sukar untuk diobati. Dalem Taruk karena amat sayangnya, maka beliau berkaul bila sembuh akan dinikahkan dengan putri Dalem Samprangan. Ternyata kaul itu mujarab. Tanpa diobati Kuda pun sembuh. Dalem Taruk hendak menikahkan Kuda Panandang Kajar dengan putri Dalem Samprangan. Kuda Panandang Kajar tidak kuasa menolak kehendak Dalem Taruk, dengan tipu, muslihat dipertemukan lah Kuda Panandang Kajar dengan putri Dalem Samprangan secara paksa.
Malang bagi mereka, tengah bersenggama datanglah Keris Ki Tanda Langlang menikam kedua insan itu hingga meninggal seketika. Berita kejadian itu sampai kepada Dalem Samprangan. Baginda pun amat murka, dan mengerahkan semua kekuatan untuk menghancurkan Dalem Taruk.
Puri Tarukan diserang dari segala penjuru, tetapi Dalem Taruk telah lebih dahulu meninggalkan istana.
Pasukan diatur kembali ke segala jurusan untuk mengejar Dalem Taruk.
Dalem Taruk dengan berbagai cara dan siasat bersembunyi di sebelah selatan desa Tampuagan, hingga pasukan yang mengejar kembali hampa tangan.
Dalem langsung menuju pondok Ki Dukuh Pantunan. Ki Dukuh menerima dengan baik dan menjamu menurut kemampuannya.

[Kembali ke atas]

Masyarakat pegunungan amat hormat dan setia kepada Dalem Taruk. Dalem meminta agar masyarakat memanggil dirinya, Gusti atau Jero agar tidak terungkap persembunyiannya. Lama beliau di sana hingga sempat bercocoktanam dan memperdalam keagamaan.
Setelah setahun berselang Dalem Samprangan memerintahkan menggempur Dalem Taruk lagi. Ki Dukuh telah mengetahui rencana itu, segera mengungsikan Dalem Taruk ke tempat persembunyian. Sehingga pasukan yang menggeledah rumah Ki Dukuh kembali dengan tangan hampa. Mulai saat itu Dalem Taruk berpantang makan jawa, jali dan burung titiran (perkutut), karena diselamatkan oleh rumpun rumpun pepohonan itu serta adanya burung titirn yang berkicau di atasnya.
Hal ini diwasiatkan turun temurun.
Ki Dukuh Pantunan tetap mengupayakan persembunyian untuk keselamatan Dalem Taruk.
Suatu saat Dalem dianjurkan agar bersembunyi pada I Gusti Ngurah Poh Landung di desa Poh Tegeh. Dalem Taruk menyetujuinya. Namun I Gusti Poh Landung mencegah Dalem menyeberang ke Jawa, sebagai gantinya diberikan perlindungan di Janggala Sekar.
Dalem Taruk menikahi putri I Gusti Poh Landung bernama Ni Gusti Luh Cwaji (Kwanji).
Dalem Taruk berputra dua orang bernama Gusti Gde Sekar, dan Gusti Gde Pulesari.
Dalem Taruk juga memperistri putri Ki Dukuh Darmaji bernama Ni Luh Made Sari berputra Gusti Gde Balangan, dan Ni Luh Wanagiri.
Desa desa sekitar dengan pemuka-pemukanya amat setia kepada Dalem Taruk.
Dengan wafatnya Dalem Samprangan, kerajaan Gelgel di bawah Dalem Ketut, semakin berkembang. Kemakmuran terjamin dengan baik.
Dalem Taruk telah mendengar hal itu.
Beliau berpindah ke tepi pantai di timur desa Crutcut (Tianyar), bersama seluruh anak istrinya.
Beliau minta kepada masyarakat agar tetap merahasiakan keberadaannya.
Masyarakat diminta menyebutnya Gusti. Kemudian desa itu diberi nama Sukadana. Di sana putrinya meninggal dunia, langsung dibuatkan upacara pembakaran jenasah.
Dalem kembali ke Poh Tegeh, bermaksud kembali ke Samprangan meninjau istrinya yang sedang hamil ketika di tinggalkan, namun dilarang oleh I Gusti Poh Landung.
Akhirnya Dalem Taruk bermukim di desa Sidaparna.
Dari Sidaparna pindah lagi ke pegunungan Panida yang kemudian terkenal dengan nama Pulesanten (Pulesari).
Dalem telah menjadi seorang bujangga (serupa pendeta). Sering memuja dan memuput upacara dalam masyarakat pedesaan itu.
Tersebutlah putra Dalem Taruk di puri Tarukan, yang bernama I Dewa Gede Sekar, atau I Dewa Gede Muter, sudah remaja putra berparas tampan dan simpatik.
Beliau dibesarkan oleh inang pengasuh, I Dewa Gde Muter mendengar riwayat ayahnya dari pengasuh itu. Segera mengambil keputusan untuk mencari ayahnya. Ia pun berjalan termangu karena belum mengenal paras orang yang dicarinya.
Kemudian berjumpa dengan seseorang sedang membajak, karena terjadi kesalahpahaman maka timbul percekcokan, bahkan perkelahian. Untuk tidak menelan korban, karena keduanya itu adalah ayah dengan anak, Dalem Taruk dengan I Dewa Gde Muter.
Suasana perkelahian berubah menjadi suasana kerinduan dan kasih sayang yang mendalam. Selanjutnya mereka pulang ke Pondok Dalem Taruk, terjadi pertemuan yang akrab antara kakak dengan adik adiknya. I Dewa Gde Muter bersumpah setia kepada ayahnya.
Dalem Taruk beristrikan pula putri I Gusti Agung di Bancang Sidem berputra Gusti Belayu dan Gusti Dangin.
Dalem Taruk sudah amat tua, pekerjaannya hanya menghayati Weda (tugas pendeta), menyelesaikan upacara agama. Desa desa semakin banyak yang cinta kepada beliau sampai dengan Ponjokbatu, Tianyar, Culik, Keladian dan lain lain.
Kemudian beliau Dalem Taruk pun meninggal, dilakukan upacara Atiwa-tiwa oleh putra putranya dibantu oleh pemuka-pemuka desa terutama I Gusti Ngurah Poh Landung, dilanjutkan dengan Patileman.
Upacara dilaksanakan dengan amat mewah.
Berita tentang meninggal dan upacara Atiwa-tiwa Dalem Taruk di desa Pulesari telah sampai kepada Dalem Ketut di Gelgel.
Dalem Ketut mengirim utusan untuk memanggil putra- putra Dalem Taruk agar menghadap ke Gelgel. Yang diutus adalah Kyayi Kaler saudara Kryan Telabah.
I Dewa Gde Muter tidak bersedia menghadap.
I Dewa Gde Muter menyampaikan wasiat ayahnya kepada adik adiknya, untuk tidak kembali ke kota (Gelgel).
Adik-adiknya semua menurut.
Dalem Ketut sebagai raja Gelgel merasa kewibawaannya diabaikan, padahal beliau tidak bermaksud buruk.
Maka utusan yang kedua dan ketiga untuk memanggil putra-putra Dalem Taruk dikirmkan, tetap tidak berhasil.
I Dewa Gde Muter memperoleh informasi bahwa akan diserang oleh pasukan Dalem Gelgel, maka ia mengadakan persiapan bersama pemuka-pemuka masyarakat yang setia antara lain I Gusti Ngurah Poh Landung, Gusti Ngurah Pande, Gusti Ngurah Keladian, Gusti Agung Bekung, I Dewa Ngurah Kubakal.
Dalem Ketut mengirim pasukan untuk menyerang Dalem Taruk di bawah pimpinan Kyayi Anglurah Denpasar, Kyayi Anglurah Tabanan, Kyayi Anglurah Karangasem, Kyayi Anglurah Kapal.
Pertempuran hebat tak terelakkan, banyak korban berjatuhan, akhirnya pertempuran dihentikan dengan datangnya malam.
Dalem memanggil pasukannya, untuk tidak telanjur banyak jatuh korban, diatur cara yang lain hingga satu tahun terhenti.
Dalem mengirim utusan kembali yaitu Kyayi Buringkit, karena ada hubungan keluarga dengan Kyayi Anglurah Keladian, sama-sama keturunan Arya Belog.
Diadakan perundingan agar pemuka-pemuka masyarakat jangan bertahan sebab Dalem bermaksud baik kepada kemenakan-kemenakannya.
Utusan itu kembali melaporkan tiga orang perbekel Kyayi Ngurah Pande, I Dewa Ngurah Kubakal, dan I Gusti Ngurah Keladian bersedia membantu Dalem.
Namun I Gusti Gde Poh Tegeh, Gusti Ngurah Bekung tetap bertahan bersama I Dewa Gde Muter.
Terpaksa dilakukan penyerangan yang kedua di bawah pimpinan Kyayi Bandesa Kubon Tubuh, Kyayi Anglurah Denpasar, Anglurah Tabanan, Anglurah Kapal dengan pasukannya.
Terjadi pertempuran amat hebat.
Korban berguguran terutama gugurnya I Dewa Gde Muter yang berhadapan dengan pasukan Anglurah Denpasar dan Kyayi Kubon Tubuh. Gusti Poh Tegeh hendak maju membela, namun dicegah oleh cucu-cucunya, Gusti Gde Sekar, akhirnya menyatakan diri takluk. Akhirnya diadakan perundingan gencatan senjata di Nyanggelan. Keesokan harinya Gusti Ngurah Poh Landung dan putra-putra Dalem Taruk lainnya menghadap ke Gelgel, hanya Gusti Dangin tetap tidak mau menghadap ke Gelgel, akhirnya malah ke Buleleng.
Di tempat-tempat kejadian itu didirikan tugu-tugu dan pura, antara lain di Sujang Kangin.
Setelah menghadap ke Gelgel, Dalem Ketut menerima dengan senang hati, dan berpetuah kepada semua putra Dalem Taruk, serta memberikan piagam untuk dijadikan pedoman pelaksanaan upacara adat waktu hidup dan pelaksanaan upacara kematian lengkap dengan Gambar Kajang.

Sabtu, 11 Juli 2009

Desa Bugbug dalam Prasasti

SEJARAH DESA BUGBUG
Menurut cerita orang-orang tua balk di Desa Bugbug, Bebandem, Jasri maupun Ngis, menceritakan bahwa dahulu kala pada sekitar abad permulaan tahun masehi datanglah seorang Brahmana yang bernama Ida Gede dari Jawa ke Bali dan menginjakkan kaki pertama kali di sebelah Barat Daya Bukit Gumang yang sekarang bernama Nyuh Awit (Njung Ngawit) atau tanjung tempat menginjakkan kaki yang pertama.
Kemudian beliau menuju sebuah bukit di sebelah barat yaitu di atas Bukit Gundul, tetapi beliau tidak dapat melihat Pura Besakih dari sana. Lalu Beliau terus menelusuri bukit ke arah Timur Laut hingga sampai di Bukit Pajinengan, tetapi dari atas bukit inipun Beliau tidak dapat melihat Pura Besakih. Akhirnya Beliau menuju puncak Bukit Gumang, dan dari tempat ini ternyata Pura Besakih dengan sinarnya yang cemerlang dapat dilihat oleh Beliau. Di tempat inilah Beliau menetap bersama Istri dan Putra-Putri-Nya, lalu membuat pasraman sederhana dalam bentuk Bangunan Gaduh yaitu bale-bale bertiang kayu dan beratap ijuk. Pada waktu itu Bukit Gumang hutannya masih lebat dan ada pula sumber mata air di sana. Dari tempat ini Beliau melaksanakan YogaSemadi untuk kesejahteraan dunia ini. Selain melaksanakan Yoga-Semadi Beliau juga mendalami dan melaksanakan Usadha ( pengobatan) untuk membantu penduduk yang ada di desa-desa di kaki Bukit Gumang. Setiap hari Beliau mengunjungi gubuk-gubuk penduduk di kaki Timur Bukit Gumang yang ada pada waktu itu bernama pradesa Sabuni, juga desa sebelah utaranya bernama Belong dan desa paling utara yang bernama Lumpadang. Pada waktu itu desa Bugbug yang sekarang belum ada karena masih berupa tanah rawa-rawa yang becek (buwug).
Dalam kurun waktu puluhan tahun Beliau menetap di Bukit Gumang, Beliau juga mengajarkan pada penduduk desa tentang cara-cara bertani, memperkenalkan cangkul, tenggala (bajak) membuat alat-alat rumah tangga seperti pisau sabit, tombak, kampak, dan lain sebagainya. Beliau mengajarkan penduduk untuk membuat alat-alat tersebut bertempat disebuah tempat yang disebut "Pasujan" Untuk itu sampai saat ini masih berdiri tegak "Pura Pande".
Beliau sangat dihormati dan dicintai oleh segenap penduduk yang berada di sekitar Bukit Gumang. Atas jasa-jasa Beliau banyak penduduk lakiperempuan yang mendapat pengetahuan tentang bertani seperti : menanam
ketela, jagung, kacang-kacangan, kelapa serta buah-buahan lainnya, tak tertinggal tentang cara menanam padi gogo karena pada waktu itu belum ada aliran sungai yang melewati pemukiman penduduk, sehingga penduduk hanya bisa berladang dan berkebun. Untuk jasa Beliau itu semua penduduk dengan tutus ikhlas dan rela disertai rasa Bakti menghaturkan pada Beliau berbagai hasil pertaniannya seperti pisang, buah-buahan, jagung, labu, kelapa, dan malah ada yang menghaturkan nasi yang baru matang. Juga Beliau mengajarkan penduduk beternak seperti : sapi, kambing, kerbau, ayam dan sebagainya. Karena banyak dari penduduk menghaturkan anak sapinya pada Beliau, maka Beliau menyuruh melepas saja sapi-sapi itu disekitar Pasraman. Sapi-sapi ini kemudian menjadi banyak yang oleh penduduk dikenal dengan sebutan "Sampi Gamang" sayang sapi yang banyak itu kemudian pada jaman Belanda dan berlanjut pada jaman revolusi kemerdekaan dan setelah kemerdekaan banyak ditembak oleh pejabat atau aparat pemerintah untuk pesta-pesta dan ini oleh Kepala Desa waktu itu diijinkan, sehingga lama-kelamaan sapi-sapi itu berkurang dan habis sama sekali pada sekitar tahun 1960-an.
Pada abad-abad permulaan masehi penduduk di pradesa Sabuni, Belong dan Lumpadang tersebut diatas mohon bantuan Ida Gede sebutan Beliau oleh penduduk saat itu untuk bisa menyalurkan air sungai yang pada waktu itu mengalir ke desa sebelah Timur. ( Desa Perasi sekarang ) untuk mengairi ladang mereka.
Ida Gede lalu melakukan Yoga-Semadi untuk memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Bethara yang berstana di Gunung Agung. Maka atas Yoga Beliau itu timbulah gempa besar dari puncak Gunung Agung keluar api sangat besar disertai guntur dan kilat. Api Gunung Agung ini lalu mengalir ke bawah dan menutup aliran sungai yang menuju ke timur dan aliran sungai lalu berubah ke selatan di sebelah timur Bukit Gumang. Akibat aliran lahar yang dibawa dari muntahan Gunung Agung sepanjang aliran sungai itu berlumpur dan becek serta berbau busuk. Itulah sebabnya sungai itu disebut Sungai Buhu ( Tukad Buhu).
Setelah ada aliran sungai, daerah di sekitarnya sabuni, belong dan Lumpadang menjadi sangat subur.kemudian para penduduk berkumpul dan mohon petunjuk Ida Gede untuk membuat sawah karena air sudah bisa mengalir ketempatnya. Ida Gede memberi petunjuk agar Hutan Pahang disebelah timur sungai dan tanah-tanah di Lumpadang dan Sabuni serta Belong dibuat berpetak-petak dan tiap petak luasnya : ayahan 100 (+10 are ) ayahan 200 (+20 are ), ayahan 300 (+30 are )
Dan ayahan 400 ( + 40 are ).kemudian semua sawah dibagi-bagikan kepada masing-masing keluarga yang pada waktu itu jumlah semua keluarga baru 120 KK.( Krama Desa Ngarep ; 112 Ayah Krama, 8 Ayah Luput = pemimpin krama ) sawah ini disebut sawah Uma Desa atau Carik Madesa yang kemudian dikenal dengan sawah AYDS ( Ayahan Desa ) yaitu siapapun nantinya menguasai atau memiliki tanah itu dia wajib menanggung ayahayahan Desa, seperti:urunan, papesuan, ngayah krama, ngayah orak, ngayah daha dan ngayah taruna, serta keperluan aci-aci lainnya.
Kemudian para penggarap dikumpulkan dan dibentuk sekaa untuk mengurus air di sawah, maka timbulah organisasi air yang disebut "Sayan" (sekarang di sebut Subak). Ada Sayan "Tegakin" (pada sawah tempat atau tegak desa semula), Sayan Lumpadang, Sayan Umapahang (dibekas hutan pahang) dan sekitarnya.
Kemudian sungai yang mengalir ini, karena di musim hujan sering banjir dan tidak adanya jembatan sering merupakan hambatan bagi yang ingin menguburkan mayat karena kuburan terletak di seberang Timur Sungai malah banjirnya sering beberapa hari belum reda, oleh karenanya beberapa penduduk ingin pindah bertempat tinggal ke sebelah timur sungai. Dan tempat pertama yang di pilih adalah : disebelah Timur Bukit Dukuh bagian selatan yang sekarang disebut Pangiu (Panyumu - Permulaan). Sebelah Timur Pangiu masih rawa-rawa, yang kemudian ditimbun berdikit-dikit untuk memperluas tempat pemukiman penduduk. Dan lama-kelamaan tempat rawa yang becek ini berhasil dikeringkan dan dibangun sebuah Desa Pekraman yang disebut desa Bugbug (berasal dari Buu-buug = Becek/Rawa).
Atas jasa-jasa Ida Gede, maka segenap anggota Krama Desa ingin menunjukan rasa bakti dan terima kasihnya pada Ida Gede. Akhirnya semua mereka datang menghadap Ida Gede di Bukit Gumang. Dan disini terjadi permusyawaratan atau paiguman (dari sini asal nama Gumang = Paiguman). lsi keputusan musyawarah ialah semua krama desa menyatakan Baktinya terhadap Ida Gede dan sampai dengan keturunannya dikemudian hari akan tetap bakti dan menyungsung Ida Gede.Untuk menyatakan secara rill rasa Bakti tersebut tiap anak yang lahir balk laki maupun perempuan akan di buatkan "Aturan Pemintonan" pada saat Usaba Gede di Pura Gumang.
Hal Kisah Mengenai Ida Gede dengan istrinya berputra 4 orang, yaitu yang paling tua laki-laki bernama Ida Bethara Gede Manik, yang kedua Bethari Ayu Made, yang ketiga juga wanita bernama Bethari Ayu Nyoman Aan yang paling kecil wanita bernama Bethari Ayu Ketut. Bethari Ayu Made kawin dengan Bethara Gede Puseh dari Desa Bebandem dan berstana di Pura Desa Bebandem.
Sebenarnya Bethara Gede Puseh mencintai Putri ketiga yang bernama Bethari Ayu Nyoman, tetapi Bethari Ayu Nyoman kawin ke Jasri dengan Bethara Gede Pasisi, karena Bethari Ayu Nyoman lebih mencintai Bethara Gede Pasisi. Agar Bethara Gede Puseh di Bebandem tidak kecewa maka Beliau di kawinkan dengan Bethari Ayu Made. Dan Bethari Ayu Made mau kawin dengan Bathara Gede Puseh apabila Kakak Beliau yaitu Bethara Gede Manik mau menunggui Beliau dan menetap tinggal di Bebandem. Itulah sebabnya putra pertama Bethara Gede Gumang tetap berstana di Pura Puseh Bebandem. Adapun Putri bungsu yang juga wanita bernama Bethari Ayu Ketut kawin ke Desa Ngis dengan Bethara Gede Dangin.
Kemudian karena semua Putra-Putri Bethara Gede Gumang sudah semua pergi, maka sunyilah di Pesraman Gumang. Dan Bethara Gede Gumang beserta Istri Beliau karena merasa tugas-tugas Beliau sudah selesai, maka Beliau bermaksud menuju Sunya Loka (Moksah) dan hal ini di ketahui oleh beberapa Penduduk. Penduduk ingin menuju ke tempat Ida Bethara Gede Gumang dan Istri beryoga, tetapi Bethara Gede melarang mendekat. Karena Penduduk tidak mau pergi maka Bethara Gede Gumang membelah Ujung Tenggara Bukit Juru dan Beliau duduk di atas belahan bukit itu berlayar menuju ketengah samudra dan akhirnya moksah ditengah laut pada gili kecil itu yang di sebut "Gili Biaha" (Pecahan Bukit Gumang).
Sebelum Beliau moksah Beliau sempat bersabda yang berupa pesan yang isinya : "WAHAI KAMU ORANG-ORANG BUGBUG DAN ORANG-ORANG YANG BERBAKTI KEPADAKU DIMANAPUN KAMU BERADA,APABILA KAMU INGIN PERTOLONGANKU,PANGGILLAH NAMAKU" Disamping itu Beliau juga memprelina pengikut Beliau yang setia menjadi Wong Samar atau Wong Sumedang. Demikian cerita orang-orang tua mengenai Ida Bethara Gede Gumang, yang juga di sebut Ida Bethara Gede Mas Manik Kecatur atau juga di Desa Bebandem di kenal dengan nama Ida Bethara Gede Lumbang, ada Pula Lontar lain menyebut nama Beliau Bethara Gede Manik Andrawang. Mengenai Desa Bugbug selanjutnya, karena kesuburannya banyaklah pendatang barn yang ingin mencari Mata Pencaharian dan menetap di Desa Bugbug. Mereka yang datang dari berbagai sekte dan kasta. Ada Brahmana, Kesatriya, Wesia maupun Sudra. Seperti misalnya pernah keluarga Brahmana tinggal di Desa Bugbug, tetapi sekarang tak ada lagi, hanya lingkungan bekas tempat tinggal Beliau itu hingga sekarang masih ada bernama Banjar Adat Garia.
Karena adanya perbedaan kasta ini timbulah pertentangan dan kekacauan yang bersumber dari masalah kasta.
Akhirnya untuk meredakan dan mengamankan suasana masyarakat di Desa Bugbug, Ida Dalem Raja Klungkung ( Bali ) mengirim Seorang Bendesa dari Keluarga Seorang Bendesa Mas untuk menjadi Kepala di Desa Bugbug. Hal ini terjadi sekitar tahun 1686 M.
Bendesa ini oleh Raja tidak di berikan bukti berupa tanah atau harta bends lainya, tetapi kepadanya diberikan beberapa orang pembantu yang akan membantu mengatur dan mengamankan Masyarakat. Dan Raja menyerahkan sepenuhnya Rakyat Desa Bugbug kepada Bendesa tersebut.
Tindakan Jero Bendesa setelah menyelidiki dan mengatur penyebab keributan adalah masalah "Kasta" maka Beliau ingin menghapuskan masalah Kasta ini dengan meminta agar semua keluarga yang menetap di Desa Bugbug menyerahkan prasasti keluarganya kepada Jero Bendesa. Dan setelah prasasti semua terkumpul Jero Bendesa mengumpulkan seluruh Kepala Keluarga (Krama) dan menanyai mereka apakah mau aman atau kacau Desa ini. Masyarakat menjawab mau aman tentram. Kalau mau aman apakah kalian setuju semua prasasti ini di bakar dan semua kalian kedudukanya sama di Desa ini, Masyarakat menjawab setuju. Dan sejak itulah atas kebijaksanaan Jero Bendesa yang berwibawa dan kharismatik itu di Desa Bugbug ini tidak ada lagi Golongan Tri Wangsa dan semua sama. Hanya Kepada Jero Bendesa rakyat tetap memberikan penghormatan dengan panggilan " Jero " atau " Jero Mekel ".

Dari : blog iwb buleleng
http://iwbinfo.cmsindo.com/budaya-a-agama/59-bugbug-prasasti

Minggu, 15 Maret 2009

Pura Gumang : Sejarah Hubungan Desa Bugbug dengan Desa Bebandem, Datah , Ngis dan Jasri

Om Awignamastu Nama Sidham
Ratu Bhatara Gede Gumang, Bhatara Lingsir samalih Bhatara Bhatari Sesuunan tityang sinamian, matur tabe pakulun mangda sampunang Ratu Bhatara menggah ring tityang santukan sampun langgana ring Parab I Ratu. Ngelungsur sinampura santukan pedekane kalintang tambet pisan.


Dikisahkan Bhatara Gede Gumang yang berstana di Pura Gumang mempunyai putra putri antara lain: Bhatara Gede Manik Sakti, Bhatara Ayu Made, Bhatara Ayu Nyoman, Bhatara Ayu Ketut dan Bhatara Ayu Pudak.

Bhatara Ayu Made dipersunting oleh oleh Bhatara Gede yang berstana di Pura Puseh Pakraman Bebandem. Bhatara Gede sebenarnya sangat mencintai Bhatara Ayu Nyoman, tetapi Bhatara Ayu Nyoman tidak mencintainya. Bhatara Ayu Nyoman sangat mencintai Bhtatara Gede Pasisi yang berstana di Pura Mastima Desa Pakraman Jasri. Mendengar beliau akan dilamar oleh Bhatara Gede Puseh Bebandem, lalu Beliau melarikan diri kepada Bhatara Gede Pasisi yang berstana di Pura Mastima Desa Pakraman Jasri. Bhatara Gede Pasisi segera melamar Bhatara Ayu Nyoman, yang selanjutnya berstana di Desa Pakraman Jasri.

Karena itulah Bhatara Gede Manik Sakti menjadi marah dan kecewa kepada Bhatara Ayu Nyoman dan Bhatara Gede Pasisi. Untuk menutupi kekecewaan itulah maka Bhatara Ayu Made yang dibujuk oleh Bhatara Gede Manik Sakti untuk menggantikan Bhatara Ayu Nyoman agar mau menikah dengan Bhatara Gde Puseh Bebandem. Bhatara Ayu Made bersedia menjadi permaisuri Bhatara Gde Puseh Bebandem sebagai Ardhareswari. Asalkan Bhatara Gde Manik Sakti juga bersedia mendampinginya dan menetap berstana di Pura Puseh Bebandem.

Mendengar syarat yang dikasih Bhatara Ayu Made, lalu Bhatara Gde Manik Sakti tanpa berpikir panjang mau mendampingi Bhatara yang akan mejadi permaisuri ( ardhanareswari) dengan Bhatara Gde Puseh Bebandem, untuk bersama-sama menetap di pura Puseh Bebandem. Karena itulah Bhatara Manik Sakti selanjutnya menetap di Pura Puseh Bebandem dan diberikan Bhiseka atau sebutan Bhatara Gede Bandem.

Bhatara Ayu Ketut ardhanareswari dengan Bhatara Gde Dangin yang berstana di desa Pakraman Ngis. Sedangkan Bhatara Ayu Pudak dipersunting oleh Bhatara Bagus Wayan putra dari Bhatara Lingsir Puseh yang berstana di Pura Puseh Desa Pakraman Datah.

Karena kisah inilah Desa Bugbug dan Desa Bebandem, Datah, Ngis dan Jasri masih ada hubungan saat ada pengaci-aci di Bugbug.

Sabtu, 14 Maret 2009

Kisah Asal Muasal Mepinton di desa Bugbug

Setiap purnmaning sasih kapat setiap 2 tahun sekali kita temui orang membawa sesaji berupa guling. Dan pohon-pohon jepun akan seperti lagi musim berbuah guling. Setiap bayi yang telah lahir di Bugbug atau yang masih merasa satu panyungsungan akan menjadi suatu kewajiban melakukan pemintonan di pura Bukit Gumang ini. Yaitu dengan salah satu sarana bebantennya adalah babi guling. Upacara ini bertepatan dengan Aci Gumang Kadulu Gede.

Terus apakah makna di balik upacara mepinton ini. Bila dicari dari arti katanya mepinton berasal dari Bahasa Jawa kuno yang berarti merpersaksikan. Jadi ini bersaksi atas sebuah keberhasilan. Bila kita kembali lagi ke cerita sejarah pura gumang, dimana setelah Beliau ( Bhatara Gede ) berhasil membuat sungai di sebelah selatan Bukit Dukuh yang disebut Tukad Buhu dan masyarakat mengucapkan syukur dan terima kasih dengan berjanji ngaturang pengaci-aci setiap 2 tahun dan setiap bayi yang lahir baik laki-laki maupun perempuan wajib ngaturang guling.

Diceritakan untuk mengairi areal persawahan di desa Pakraman Bugbug, lalu krama desa itu memohon kepada Ida Bhatara Gde Gumang untuk menciptakan air dan sungai di sebelah barat bukit penyu (Bukit Dukuh). Jika permohonan mereka dikabulkan maka mereka berjanji apabila kelak mereka beranak pinak akan menghaturkan guling babi sebagai banten pamintonan untuk setiap kelahiran.

Mendengar keluhan permohonan krama desa maka Bhtara Gde segera beryoga memohon kehadapan Bhatara Hyang Tolangkir ( Bhatara Parameswara di Gunung Agung agar ada aliran sungai di sebelah barat Bukit Penyu ( Bukit Dukuh ). Dari yoga beliaulah diutus Bhatari Giri Putri untuk meneteskan tirtha amertha dari sebuah kendi manik.

Memenuhi titah Bhatara Parameswara di gunung Tohlangkir lalu Bhatari Giri Putri berwujud seorang tua renta dengan membawa air suci ( tirtha amertha ) yang di bungkus dengan daun kaumbang ( sejenis daun talas ), dengan tujuan menguji kesungguhan orang-orang yang memohon air tersebut. Saat itu juga muncul seorang perwujudan dewata yang mengikuti pergumulan dan keluhan dari orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan di sebuah hutan yang juga sangat mendambakan air untuk kelangsungan hidupnya. Dengan tidak sabaran mendengar kata-kata dari seorang tu renta ( perwujudan Bhatari Giri Putri ) yang seperti bergurau untuk menukar air yang ada diatas daun kaumbang itu dengan bukakak kebo ( kerbau bertanduk emas ).

Tak lama kemudian orang tua (perwujudan dewata) itu lalu merogoh air yang ditaruh di atas sebuah ranting kayu dari tanaman perdu yang ditaruh oleh orang tua dalam daun kaumbang itu. Ternyata setelah air itu menetes memerciki tanah, maka muncullah mata air yang sangat besar di sebuah tempat yang sekarang menjadi Telaga Tista, yang konon berasal dari kata tirtha. Bhatari Giri Putri segera tahu bahwa orang yang merogohnya itu adalah perwujudan dewata. Dan karena ketidaksabarannya itu maka ia dikatakan mangkak yang menjadi junjungan (sasuhunan) di sekitar tempat itu yang dikenal dengan sebutan Ida Gde Bangkak (Bhatara Gede Bangkak). Karena yang memohon air itu dan agar menjadi sebuah sunggi adalah Ida Gde ( Bhatara Gde Gumang ), dan agar tidak membahayakan sampai di hilir, maka dititahkanlah Ida Gde Bangkak untuk mempertanggungjawabkan dan mengendalikan perjalanan air itu sampai ke hilir. Dan sepanjang sungai tempat air itu mengalir yakni Telaga Tista ( Telaga Tirta ) sampai ke laut selatan yang disebut Tukad Buhu.

Dalam perjalanan air itu menuju hilir, sesampainya di daerah Bongsana, beliau bertemu dengan Bhatara Gede Gumang yang sedang beryoga di atas sebuah kiskis ( sejenis alat pemangkas rumput di sawah),lalu Ida Gde Bangkak bertanya kepada Bhatara Gde Gumang. Ida Gde akan diarahkan kemanakah aliran air ini? Lalu Ida Gde Gumang menunjukke sebuah bukit yaitu Bukit Penyu (Bukit Dukuh) seraya memohon agar air itu mengalir disebelah baratnya. Maka dipotonglah bukit yang dianggap menghalangi aliran air untuk ke barat. Potongan bukit itu menjadi sebuah gundukan di sebelah utara Batu Koek ( di Daerah Bongsana), maka mengalirlah air itudi sebelah barat bukit Penyu (Bukit Dukuh) sesuai dengan permintaan Ida Gde Gumang. Dan aliran sungai Tukad Buhu itu bisa juga digunakan untuk meruat mala atau membersihkan segala bentuk mala kawisyan ( segala bahaya yang diakibatkan oleh kekuatan magis/ ilmu hitam). Dan tempat reruntuhan dari potongan bukit tersebut dinamakan Ngampan Rempak.

Sabtu, 31 Januari 2009

Sejarah Pura Gumang di Desa Bugbug


BERAWAL DARI PURA BUKIT BYAHA

Konon pura Gumang berasal dari Pura Bukit Byaha yang terletak di sebuah gili yang disebut Byaha yang terletak di tengah laut di sebelah selatan Bukit Gumang.
Dari sinilah Bhatara Gede Gumang yang saat itu bernama Sang Hyang Sinuhun Kidul dan berstana di Bukit Uluwatu, mempersunting putri Bhatara di Bukit Byaha yang bernama Dewi Ayu Mas untuk dijadikan prameswari. Setelah Beliau menjadi ardhanareswari (suami-istri), lalu beliau menuju Bukit Gumang dan mendirikan kahyangan (pura) sebagai sthana beliau, disini beliau berparab Bhatara Gede Gumang. Disinilah beliau tetap menetap sampai sekarang dan dipuja oleh masyarakat Bugbug dengan sebutan Ida Gede dan mengajarkan masyarakat Bugbug tentang tata krama, bermasyarakat, bertani, berternak, melaut, membuat peralatan baik dari kayu maupun dari besi dan sebagainya.
Ida Gde (Bhatara Gede Gumang) lalu memulai membuka areal persawahan dan mendirikan gubuk-gubuk, mengajarkan orang-orang disekitar Bukit Gumang membajak, berternakdan sebagainya, yang terletak di Sabuni, Tegakin, Malegok, Lumpadang(Ulun padang), Belong dan mnedirikan tempat memande di Malegok yang sekarang menjadi Pura Pande. Kemudian dilanjutkan di Mel Pahang, Pangiyu, Gantalan, Gorek, Lebah Kangin (Teba Kangin) dan Delod Poh.
Tentang jumlah orang pada saat itu berjumlah kurang lebih 120 orang yang terdiri dari 8 orang pemimpin yang disebut Luput dan 112 orang Pengayah yang disebut Krama. Orang-orang inilah yang menjadi asal mula terbentuknya desa Bugbug dan krama desa Bugbug yang disebut "Krama Desa Ngarep i satus roras muwah luput akutus" dengan memberikan bukti tanah sawah yang dibagi-bagikan kepada krama (masyarakat) saat itu hanya untuk kesejahteraan dan biaya pengaci-aci (upacara keagamaan), yang terdiri dari 8 petak (kutus saih) tanah sawah dengan ayah "luput" dan 112 petak (satus roras saih) tanah sawah dengan ayah krama. Selanjutnya untuk mengairi areal sawah itu, lalu Ida Gede (Bhatara Gede Gumang) membuat sungai disebelah barat Bukit Penyu (Bukit Dukuh sekarang) yang disebut Tukad Buhu.Setelah berhasil membuat sungai, pada saat itu Krama Bugbug berjanji akan ngaturang pangaci( puja wali ) dan setiap anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan akan ngaturang guling (mapinton) pada saat usaba/ aci-aci besar di pura gumang yaitu yang datangnya setiap 2 tahun sekali.
"...mangkana denira mintonaken, matemahan kagiat watek dewatane ring gunung," ( Salinan Lontar Pangaci-aci, I Nyoman Punia)

Setelah lama mendiami gubuk-gubuk di areal persawahan itu, lalu pada sasih kawolu terjadilah hujan deras tiada henti-hentinya dan meyebabkan banjir dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga menjadi penghambat bagi masyarakat untuk melaksanakan aktifitas, termasuk penguburan mayat dan sebagainya. Maka timbul keinginan Ida Gede (Bhatara Gede gumang) untuk mempersatukan gubuk-gubuk itu mnejadi satu.
Tempat yang dipilih pertama adalah Pangiyu (Lateng Ngiyu), namun setelah diperhatikan secara seksama tempat itu kurang bagus. Maka ditinjaulah kembali daerah sebelah timur Bukit Penyu dan terdapat sebuah telaga berwarna biru yang bernama " Banyu Wka" atau Telaga Ngembeng yang merupakan tempat yang datar, luas dan indah.
Disnilah beliau membuat sebuah desa dengan menimbun (ngurug) Telaga Ngembeng tersebut dengan mempersatukan gubuk-gubuk yang tersebar di areal persawahan itu, dengan nama Desa Bugbug. Arti kata Bugbug berarti berkumpul atau bersatu.

"....reh sapa kwehing roang, dwaning kabugbug, ana seket, ana satus....tan tuna atunggalan bambang kabugbug....."
(AA. Ngurah Mangku, Puri Anom Jambe Merik Pucangan, 1976).
artinya:
....sebab berapapun jumlah kawan (anggota), karena sudah terkumpul, ada lima puluh, ada seratus jumlahnya, tanpa kecuali dikumpulkan menjadi satu tempat (bambang).
Disinilah beliau lalu menjadi satu (bersama-sama) dengan Bhatara Kala berstana di Bale Agung dengan sebutan Bhatara Gede Sakti

Hal ini termuat dalam beberapa lontar ataupun purana yang menyatakan bahwa Pura yang dikenal sebagai Pura Gumang saat ini, berawal dari Pura Bukit Byaha antara lain:

Lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul menyebutkan sebagai berikut:
" ...hana katmu denta gunung tinengeran giri radja maring airsanya ya ta gunung mas mapucak manik adasar ratna komalawinten akrikil mirah apasir podi, ya tika agranira hyang mahameru nguni, ingsun ginawa mareng bangsul, sun parah tinagen, kang sebagi dadi gunung batur makadapur sandi hyang agni siring pretiwi tala, ikang sabagi isornya sun dadiakna gunung rinjani, ikang pucak iradadi hyang tolangkir ngaran gunung agung, ikang pucaknya manadi pagunungan mwah, geger sasor nikang gunung agungika lwirnya, saka purwa amilangi, kawruh akna pangaranya, gunung tasahi, kulonya gunung pangelengan, kulonya gunung mangu, kulonya gunung silanjana, kulonya gunung beratan, kulonya gunung watukaru, kulonya mwah pagunungan naga loka, kulonya mwahngaran gunung pulaki, mangidul wetan sangke rika hana gunung puncak sangkur, bukit rangda, trate bang, mangetanya mwah padangdawa, mwah ikang ikang kasisi kidul hana gunung adakasa, mwang huluwatu, terus mangetan maring Ghneya desanira hana Gunung byaha, mwang byasmuntig, ikang maring purwa hana gunung lempuyang, mangalor sangke rika hana gunung sraya, samangkana prasama dadyaning acala sumimpa mareng bangsul...."
( Sejarah Pembangunan pura-Pura di Bali, ketut Soebandi, CV. Kayu Mas Denpasar, 1983).
Artinya:
"....kamu akan menjumpai gunung agung sebagai tanda gunung yang besar , di sebelah timur laut itulah sebagai gunung mas yang berpuncak manik berdasar ratna komala winten berbatu mirah berpasir padi, itulah puncaknya hyang mahameru dahulu, aku bawa ke bali, aku bagi menjadi tiga, yang sebagian menjadi gunung batur sebagai dapur sandi hyang agni di bumi yang ada di bawahnya, yang sebagian dibawahnya aku jadikan gunung rinjani, sedang puncaknya menjadi hyang tolangkir, bernama gunung agung, puncaknya menjadi pegunungan dan gundukan dibawahnya gunung agung itu seperti dari timur mengjitungnya, ketahuilah namanya gunung tasahi, dibaratnya gunung pangelengan, di baratnya gunung mangu, dibaratnya gunung silanjana, di baratnya gunung beratan, di baratnya gunung watukaru, di baratnya pegunungan nagaloka, di baratnya bernama gunung pulaki, ke selatan dan ke timur (ketenggara) dari sana terdapat gunung puncak sangkur, bukit rangda, trate bang, ke sebelah timur lagi ada padangdawa, sedangkan di pantai selatan ada gunung adakasa dan uluwatu, terus ke timur di sebelah tenggara tempatnya ada gunung byaha dan byasmuntig, yang di sebelah timur ada gunung lempuyang, ke sebelah utara dari sana ada gunung sraya, demikianlah semuanya tentang gunung-gunung yang mengelilingi pulau bali,...dst"

Lontar Babad Dukuh Jumpungan, menyatakan sebagai berikut:
1b-2a "..i Renggan luas mangalih pakarangan ka Bias Muntig, apanga dadi tenget, mangaji ada I Gotra, I Gotra manunas kasiden teken Dewane di bukit Byaha, manunas Gumi Nusane sing mangwasayang, wenang I Macaling managih peti..."
(Gedong Kirtya Singaraja, No. 819)
Artinya:
....i Renggan pergi mencari tempat tinggal di Bias Muntig, agar menjadi angker disana, lalu bermeditasi lahirlah I Gotra, I Gotra memohon keberhasilan (kawisesan) kepada bhatara di Bukit Byaha, memohon agar Bumi Nusa (Nusa Penida) siapa saja yang memimpin. agar tetap I Macaling yang meminta Upeti (korban manusia)...

Mantra Pawungu Bhatara Ring Byaha, menyebutkan sbb:
....niyan iki kaweruhakna denta wang pakraman I Bugbug...kahyangan niramaring agraning gunung juru ngaran kahyangan bhatareng byaha, nga, ...//...iti wuwus ira..., ma, Ong Ung Manik Anrawang Suksmantara dewa ya namah swaha,...
(Salinan lontar satu lembar, I Nyoman Punia, alm.)
Artinya:
...inilah yang perlu diketahui oleh masyarakat di Bugbug...pemujaanKu yang di puncak Bukit Juru adalah pemujaan Bhatara di Byaha...//...ini sabdaKU...ma,... dst.

Weda Mantram penghormatan Ring Bukit Byaha, ma:
Om Ung Manik Anrawang Suksma Anantara Dewa Ya Namah Swaha.
(Dasar ke-Pemangkuan/ke-sulinggihan, I Nyoman Satrya Atmanandi, BA, 1973, Mantram no.46).

KISAH DARI BUKIT BYAHA KE ULUWATU KEMUDIAN KE UKIR GUMANG


Diceritakan Bhatara Sasuhunan di pura Gumang bermula dari Bhatara Sasuhunan yang saat itu bernama Sang Hyang Sinuhun Kidul yang berstana di Pura Bukit Uluwatu mempersunting putri Bhatara di Bukit Byaha yang bernama Dewi Ayu Mas (Bhatara Ayu Mas). Kemudian setelah beliau menjadi ardhanereswari (suami-istri), bersama-sama menjadi sasuhunan / panembahan di pura Bukit Uluwatu dengan nama Bhatara Gede Sakti. Setelah beliau diberikan membawa tattwa usadha dan tattwa kedyatmikan bersama-sama dengan Bhagawan Sakru, Bhagawan Mangga Puspa, Mpu Siwa Sogata (siwa-Budha), menuju Ukir Gumang yang akhirnya beliau menetap dan menjadi Sasuhunan/panembahan di Bukit Gumang dengan nama Bhatara Gede Gumang sampai sekarang.
Hal ini termuat dalam Kutara Kanda Purana Dewa Bangsul yang menyebutkan sebagai berikut:
"...tucapa ri laminia Bhatara Guru alungguh ring candipura sada kang maka wit jagat bangsul kapertama, mangke kawinuwus malih kawangsul turunaniara Hyang Puru Sada, sira mangreka jagat ring banwa asya, kang inagaran Bhagawan Manggapuspa sira agung tan sepira, kaya gunung tur apanjang alingga ring tengahing sagara, nagwetuaken putra sawiji, subaga aluhur, kaya sang yayah, agung ira hyang leluhur, doning mangkana, sira kabaweh aran, nga, tasira Dewa Gde Kebo Iwa, ring mangkana dewa gde Kebo iwa kahinadehaken pajenengan ring bangsul, ingaran sira Radja Pajenengan, riwus sira angadeg pajenengan ingaran Sang Hyang Sinuhun Kidul, salamenira angadeg pajenengan ring bangsul, sira akahyangan ring Bukit Uluwatu, salamenira ingkana tucapa sira angamet prameswari saking putra nira Bhatara ring bukit Byaha , kang apanengeran Dewi Ayu Mas. riwus sira aprameswari angadeg pejenengan ingaran Radja Sinuhun Kidul, prasama den prameswarinira kang ngaran Dewi Ayu Mas. Hyang Sinuhun Kidul juga kaginucap Bhatara Gede Sakti , ri mangkana wenang kwruhakna denta lingganing Bhatara, nga, lwirnia:
1.Duk kari jajaka , nga, sira Ki Taruna Bali
2.Duknia angadeg pajenengan, sira ngaran Sang Hyang Sinuhun Kidul
3.Duknia mamundut tattwa usada mwang tattwa kedyatmikan, nga, sira bhatara Gede Sakti Ngawa Rat.
4.Duknia mamundut tattwa usada mwang tattwa kedyatmikan, papareng sira Bhagawan Sakru, Bhagawan Manggapuspa, Mpu siwa sogata, jumujug maring Bukit Gumang,nga, sira Bhatara Gede Gumang
5.Duk sira manunggal lawan BHatara Kala alingga ring bale agung, nga, Bhatara Gede Sakti.
6.Duk sira angrencana ring banwa bangsul, nga, sira Dewa Gede Kebo Iwa
7.Duk sira lamaku mamundut sampir magelang kana , masalimpet kiwa tengen, nga, Bhatara Guru.
8.Duk sira mamundut sulambang manggawe linggih tirta, nga, tirta tlaga waja, tirta bima, tirta wayu, tirta sudamala, tirta erabang, tirta mambar mumbur, tirta sapuh jagat, tirta pasupati, tirta pariampeh, tirta bungkah, tirta sampyan mas, duking mangkana sira maharan Bhatara Amurbeng Rat,...."
(salinan Tambra Prasasti , Sari Manik Pura Tuluk biyu, yang aslinya tersimpan di Pua Tuluk Biyu Batur Kintamani, oleh I Ketut sudarsana, Br. Basang Tamyang Desa Adat Kapal).

Artinya:
...diceritakan selama Bhatara Guru berstana di Candi Pura Sada yang merupakan awal dari pulau Bali yang pertama, lalu diceritakan lagi tentang keturunan Beliau Hyang Pura Sada, beliaulah yang membentuk (mengelilingi) "banwa asya" dengan nama Bhagawan Manggapuspa. beliau maha besar , bagaikan gunung yang menjualang tinggi yang terdapat di tengah lautan , melahirkan seorang putra dengan bangga karena Hyang Leluhur dengan demikian beliau diberi nama dengan sebutan Dewa Gede Kebo Iwa, sejak itulah Dewa Gde Kebo Iwa dinobatkan sebagai junjungan (sasuhunan) di pulau Bali, dengan sebutan Radja Pajenengan (Sasuhunan)setelah beliau dinobatkan sebagai junjungan (sesuhunan) bernama Sang Hyang Sinuhun Kidul ,selama beliau dinobatkan menjadi junjungan (sasuhunan) di pulau Bali beliau berstana di Bukit Uluwatu, sejak beliau disana, diceritakanlah beliau mempersunting putri ardhanareswarii (suami-istri) dan menjadi Junjungan (sasuhunan) bernama Radja sinuhun Kidul bersama-sama dengan istri beliau yang bernama Dewi Ayu Mas, Hyang Sinuhun Kidul juga disebut Bhatara Gede Sakti, dengan demikian perlu diketahui oleh kalian semua tentang sebutan dan stana Bhatara antara lain:
1. Saat beliau masih muda , bernama Ki Taruna Bali
2. Ketika beliau menjadi junjungan (sasuhunan), beliau disebut Sang Hyang Sinuhun Kidul
3. Ketika beliau membawa (memahami) pengetahuan (tattwa) tentang usada dan pengetahuan (tattwa) tentang kesucian beliau disebut Bhatara Gde Sakti Ngawa Rat.
4. Ketiak beliau membawa (memahami) pengetahuan (tattwa) tentang usada dan pengetahuan (tattwa) tentang kesucian bersama-sama dengan Bhagawan Sakru, Bhgawan Manggapuspa, Mpu Siwa Sogata(Siwa-Budha), menuju
Bukit Gumang disebutlah beliau Bhatara Gde Gumang.
5. Duk beliau menyatu dengan Bhatara Kala, berstana di Bale Agung bernama Bhatara Gede Sakti
6. Ketika beliau merencanakan perbaikan-perbaikan di pulau Bali, sebutan beliau adalah Dewa Gede Kebo Iwa
7. Ketika beliau pergi membawa sampir dan bergelang kana, masalimpet (berselendang) kiri kanan, beliau disebut Bhatara Guru.
8. Ketika beliau membawa Salumbang membuat tempat tirta, yang disebut tirta telaga waja, tirta Bima, tirta Bayu, tirta sudhamala, tirta bang, tirta mambar mumbur, tirta sapuh jagat, tirta pasupati, tirta pariampeh, tirta bungkah, tirta sampian mas, ketika itu beliau bernama Bhatara Amurbeng Rat...