OM SWASTIASTU

Da ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, anak sai tumbuh luhu, ilang luhu buke katah, yadin ririh enu liu pelajahin

Sabtu, 14 Maret 2009

Kisah Asal Muasal Mepinton di desa Bugbug

Setiap purnmaning sasih kapat setiap 2 tahun sekali kita temui orang membawa sesaji berupa guling. Dan pohon-pohon jepun akan seperti lagi musim berbuah guling. Setiap bayi yang telah lahir di Bugbug atau yang masih merasa satu panyungsungan akan menjadi suatu kewajiban melakukan pemintonan di pura Bukit Gumang ini. Yaitu dengan salah satu sarana bebantennya adalah babi guling. Upacara ini bertepatan dengan Aci Gumang Kadulu Gede.

Terus apakah makna di balik upacara mepinton ini. Bila dicari dari arti katanya mepinton berasal dari Bahasa Jawa kuno yang berarti merpersaksikan. Jadi ini bersaksi atas sebuah keberhasilan. Bila kita kembali lagi ke cerita sejarah pura gumang, dimana setelah Beliau ( Bhatara Gede ) berhasil membuat sungai di sebelah selatan Bukit Dukuh yang disebut Tukad Buhu dan masyarakat mengucapkan syukur dan terima kasih dengan berjanji ngaturang pengaci-aci setiap 2 tahun dan setiap bayi yang lahir baik laki-laki maupun perempuan wajib ngaturang guling.

Diceritakan untuk mengairi areal persawahan di desa Pakraman Bugbug, lalu krama desa itu memohon kepada Ida Bhatara Gde Gumang untuk menciptakan air dan sungai di sebelah barat bukit penyu (Bukit Dukuh). Jika permohonan mereka dikabulkan maka mereka berjanji apabila kelak mereka beranak pinak akan menghaturkan guling babi sebagai banten pamintonan untuk setiap kelahiran.

Mendengar keluhan permohonan krama desa maka Bhtara Gde segera beryoga memohon kehadapan Bhatara Hyang Tolangkir ( Bhatara Parameswara di Gunung Agung agar ada aliran sungai di sebelah barat Bukit Penyu ( Bukit Dukuh ). Dari yoga beliaulah diutus Bhatari Giri Putri untuk meneteskan tirtha amertha dari sebuah kendi manik.

Memenuhi titah Bhatara Parameswara di gunung Tohlangkir lalu Bhatari Giri Putri berwujud seorang tua renta dengan membawa air suci ( tirtha amertha ) yang di bungkus dengan daun kaumbang ( sejenis daun talas ), dengan tujuan menguji kesungguhan orang-orang yang memohon air tersebut. Saat itu juga muncul seorang perwujudan dewata yang mengikuti pergumulan dan keluhan dari orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan di sebuah hutan yang juga sangat mendambakan air untuk kelangsungan hidupnya. Dengan tidak sabaran mendengar kata-kata dari seorang tu renta ( perwujudan Bhatari Giri Putri ) yang seperti bergurau untuk menukar air yang ada diatas daun kaumbang itu dengan bukakak kebo ( kerbau bertanduk emas ).

Tak lama kemudian orang tua (perwujudan dewata) itu lalu merogoh air yang ditaruh di atas sebuah ranting kayu dari tanaman perdu yang ditaruh oleh orang tua dalam daun kaumbang itu. Ternyata setelah air itu menetes memerciki tanah, maka muncullah mata air yang sangat besar di sebuah tempat yang sekarang menjadi Telaga Tista, yang konon berasal dari kata tirtha. Bhatari Giri Putri segera tahu bahwa orang yang merogohnya itu adalah perwujudan dewata. Dan karena ketidaksabarannya itu maka ia dikatakan mangkak yang menjadi junjungan (sasuhunan) di sekitar tempat itu yang dikenal dengan sebutan Ida Gde Bangkak (Bhatara Gede Bangkak). Karena yang memohon air itu dan agar menjadi sebuah sunggi adalah Ida Gde ( Bhatara Gde Gumang ), dan agar tidak membahayakan sampai di hilir, maka dititahkanlah Ida Gde Bangkak untuk mempertanggungjawabkan dan mengendalikan perjalanan air itu sampai ke hilir. Dan sepanjang sungai tempat air itu mengalir yakni Telaga Tista ( Telaga Tirta ) sampai ke laut selatan yang disebut Tukad Buhu.

Dalam perjalanan air itu menuju hilir, sesampainya di daerah Bongsana, beliau bertemu dengan Bhatara Gede Gumang yang sedang beryoga di atas sebuah kiskis ( sejenis alat pemangkas rumput di sawah),lalu Ida Gde Bangkak bertanya kepada Bhatara Gde Gumang. Ida Gde akan diarahkan kemanakah aliran air ini? Lalu Ida Gde Gumang menunjukke sebuah bukit yaitu Bukit Penyu (Bukit Dukuh) seraya memohon agar air itu mengalir disebelah baratnya. Maka dipotonglah bukit yang dianggap menghalangi aliran air untuk ke barat. Potongan bukit itu menjadi sebuah gundukan di sebelah utara Batu Koek ( di Daerah Bongsana), maka mengalirlah air itudi sebelah barat bukit Penyu (Bukit Dukuh) sesuai dengan permintaan Ida Gde Gumang. Dan aliran sungai Tukad Buhu itu bisa juga digunakan untuk meruat mala atau membersihkan segala bentuk mala kawisyan ( segala bahaya yang diakibatkan oleh kekuatan magis/ ilmu hitam). Dan tempat reruntuhan dari potongan bukit tersebut dinamakan Ngampan Rempak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon komentar ya....