Om Awignamastu Nama Sidham
Ratu Bhatara Gede Gumang, Bhatara Lingsir samalih Bhatara Bhatari Sesuunan tityang sinamian, matur tabe pakulun mangda sampunang Ratu Bhatara menggah ring tityang santukan sampun langgana ring Parab I Ratu. Ngelungsur sinampura santukan pedekane kalintang tambet pisan.
Dikisahkan Bhatara Gede Gumang yang berstana di Pura Gumang mempunyai putra putri antara lain: Bhatara Gede Manik Sakti, Bhatara Ayu Made, Bhatara Ayu Nyoman, Bhatara Ayu Ketut dan Bhatara Ayu Pudak.
Bhatara Ayu Made dipersunting oleh oleh Bhatara Gede yang berstana di Pura Puseh Pakraman Bebandem. Bhatara Gede sebenarnya sangat mencintai Bhatara Ayu Nyoman, tetapi Bhatara Ayu Nyoman tidak mencintainya. Bhatara Ayu Nyoman sangat mencintai Bhtatara Gede Pasisi yang berstana di Pura Mastima Desa Pakraman Jasri. Mendengar beliau akan dilamar oleh Bhatara Gede Puseh Bebandem, lalu Beliau melarikan diri kepada Bhatara Gede Pasisi yang berstana di Pura Mastima Desa Pakraman Jasri. Bhatara Gede Pasisi segera melamar Bhatara Ayu Nyoman, yang selanjutnya berstana di Desa Pakraman Jasri.
Karena itulah Bhatara Gede Manik Sakti menjadi marah dan kecewa kepada Bhatara Ayu Nyoman dan Bhatara Gede Pasisi. Untuk menutupi kekecewaan itulah maka Bhatara Ayu Made yang dibujuk oleh Bhatara Gede Manik Sakti untuk menggantikan Bhatara Ayu Nyoman agar mau menikah dengan Bhatara Gde Puseh Bebandem. Bhatara Ayu Made bersedia menjadi permaisuri Bhatara Gde Puseh Bebandem sebagai Ardhareswari. Asalkan Bhatara Gde Manik Sakti juga bersedia mendampinginya dan menetap berstana di Pura Puseh Bebandem.
Mendengar syarat yang dikasih Bhatara Ayu Made, lalu Bhatara Gde Manik Sakti tanpa berpikir panjang mau mendampingi Bhatara yang akan mejadi permaisuri ( ardhanareswari) dengan Bhatara Gde Puseh Bebandem, untuk bersama-sama menetap di pura Puseh Bebandem. Karena itulah Bhatara Manik Sakti selanjutnya menetap di Pura Puseh Bebandem dan diberikan Bhiseka atau sebutan Bhatara Gede Bandem.
Bhatara Ayu Ketut ardhanareswari dengan Bhatara Gde Dangin yang berstana di desa Pakraman Ngis. Sedangkan Bhatara Ayu Pudak dipersunting oleh Bhatara Bagus Wayan putra dari Bhatara Lingsir Puseh yang berstana di Pura Puseh Desa Pakraman Datah.
Karena kisah inilah Desa Bugbug dan Desa Bebandem, Datah, Ngis dan Jasri masih ada hubungan saat ada pengaci-aci di Bugbug.
OM SWASTIASTU
Minggu, 15 Maret 2009
Sabtu, 14 Maret 2009
Kisah Asal Muasal Mepinton di desa Bugbug
Setiap purnmaning sasih kapat setiap 2 tahun sekali kita temui orang membawa sesaji berupa guling. Dan pohon-pohon jepun akan seperti lagi musim berbuah guling. Setiap bayi yang telah lahir di Bugbug atau yang masih merasa satu panyungsungan akan menjadi suatu kewajiban melakukan pemintonan di pura Bukit Gumang ini. Yaitu dengan salah satu sarana bebantennya adalah babi guling. Upacara ini bertepatan dengan Aci Gumang Kadulu Gede.
Terus apakah makna di balik upacara mepinton ini. Bila dicari dari arti katanya mepinton berasal dari Bahasa Jawa kuno yang berarti merpersaksikan. Jadi ini bersaksi atas sebuah keberhasilan. Bila kita kembali lagi ke cerita sejarah pura gumang, dimana setelah Beliau ( Bhatara Gede ) berhasil membuat sungai di sebelah selatan Bukit Dukuh yang disebut Tukad Buhu dan masyarakat mengucapkan syukur dan terima kasih dengan berjanji ngaturang pengaci-aci setiap 2 tahun dan setiap bayi yang lahir baik laki-laki maupun perempuan wajib ngaturang guling.
Diceritakan untuk mengairi areal persawahan di desa Pakraman Bugbug, lalu krama desa itu memohon kepada Ida Bhatara Gde Gumang untuk menciptakan air dan sungai di sebelah barat bukit penyu (Bukit Dukuh). Jika permohonan mereka dikabulkan maka mereka berjanji apabila kelak mereka beranak pinak akan menghaturkan guling babi sebagai banten pamintonan untuk setiap kelahiran.
Mendengar keluhan permohonan krama desa maka Bhtara Gde segera beryoga memohon kehadapan Bhatara Hyang Tolangkir ( Bhatara Parameswara di Gunung Agung agar ada aliran sungai di sebelah barat Bukit Penyu ( Bukit Dukuh ). Dari yoga beliaulah diutus Bhatari Giri Putri untuk meneteskan tirtha amertha dari sebuah kendi manik.
Memenuhi titah Bhatara Parameswara di gunung Tohlangkir lalu Bhatari Giri Putri berwujud seorang tua renta dengan membawa air suci ( tirtha amertha ) yang di bungkus dengan daun kaumbang ( sejenis daun talas ), dengan tujuan menguji kesungguhan orang-orang yang memohon air tersebut. Saat itu juga muncul seorang perwujudan dewata yang mengikuti pergumulan dan keluhan dari orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan di sebuah hutan yang juga sangat mendambakan air untuk kelangsungan hidupnya. Dengan tidak sabaran mendengar kata-kata dari seorang tu renta ( perwujudan Bhatari Giri Putri ) yang seperti bergurau untuk menukar air yang ada diatas daun kaumbang itu dengan bukakak kebo ( kerbau bertanduk emas ).
Tak lama kemudian orang tua (perwujudan dewata) itu lalu merogoh air yang ditaruh di atas sebuah ranting kayu dari tanaman perdu yang ditaruh oleh orang tua dalam daun kaumbang itu. Ternyata setelah air itu menetes memerciki tanah, maka muncullah mata air yang sangat besar di sebuah tempat yang sekarang menjadi Telaga Tista, yang konon berasal dari kata tirtha. Bhatari Giri Putri segera tahu bahwa orang yang merogohnya itu adalah perwujudan dewata. Dan karena ketidaksabarannya itu maka ia dikatakan mangkak yang menjadi junjungan (sasuhunan) di sekitar tempat itu yang dikenal dengan sebutan Ida Gde Bangkak (Bhatara Gede Bangkak). Karena yang memohon air itu dan agar menjadi sebuah sunggi adalah Ida Gde ( Bhatara Gde Gumang ), dan agar tidak membahayakan sampai di hilir, maka dititahkanlah Ida Gde Bangkak untuk mempertanggungjawabkan dan mengendalikan perjalanan air itu sampai ke hilir. Dan sepanjang sungai tempat air itu mengalir yakni Telaga Tista ( Telaga Tirta ) sampai ke laut selatan yang disebut Tukad Buhu.
Dalam perjalanan air itu menuju hilir, sesampainya di daerah Bongsana, beliau bertemu dengan Bhatara Gede Gumang yang sedang beryoga di atas sebuah kiskis ( sejenis alat pemangkas rumput di sawah),lalu Ida Gde Bangkak bertanya kepada Bhatara Gde Gumang. Ida Gde akan diarahkan kemanakah aliran air ini? Lalu Ida Gde Gumang menunjukke sebuah bukit yaitu Bukit Penyu (Bukit Dukuh) seraya memohon agar air itu mengalir disebelah baratnya. Maka dipotonglah bukit yang dianggap menghalangi aliran air untuk ke barat. Potongan bukit itu menjadi sebuah gundukan di sebelah utara Batu Koek ( di Daerah Bongsana), maka mengalirlah air itudi sebelah barat bukit Penyu (Bukit Dukuh) sesuai dengan permintaan Ida Gde Gumang. Dan aliran sungai Tukad Buhu itu bisa juga digunakan untuk meruat mala atau membersihkan segala bentuk mala kawisyan ( segala bahaya yang diakibatkan oleh kekuatan magis/ ilmu hitam). Dan tempat reruntuhan dari potongan bukit tersebut dinamakan Ngampan Rempak.
Terus apakah makna di balik upacara mepinton ini. Bila dicari dari arti katanya mepinton berasal dari Bahasa Jawa kuno yang berarti merpersaksikan. Jadi ini bersaksi atas sebuah keberhasilan. Bila kita kembali lagi ke cerita sejarah pura gumang, dimana setelah Beliau ( Bhatara Gede ) berhasil membuat sungai di sebelah selatan Bukit Dukuh yang disebut Tukad Buhu dan masyarakat mengucapkan syukur dan terima kasih dengan berjanji ngaturang pengaci-aci setiap 2 tahun dan setiap bayi yang lahir baik laki-laki maupun perempuan wajib ngaturang guling.
Diceritakan untuk mengairi areal persawahan di desa Pakraman Bugbug, lalu krama desa itu memohon kepada Ida Bhatara Gde Gumang untuk menciptakan air dan sungai di sebelah barat bukit penyu (Bukit Dukuh). Jika permohonan mereka dikabulkan maka mereka berjanji apabila kelak mereka beranak pinak akan menghaturkan guling babi sebagai banten pamintonan untuk setiap kelahiran.
Mendengar keluhan permohonan krama desa maka Bhtara Gde segera beryoga memohon kehadapan Bhatara Hyang Tolangkir ( Bhatara Parameswara di Gunung Agung agar ada aliran sungai di sebelah barat Bukit Penyu ( Bukit Dukuh ). Dari yoga beliaulah diutus Bhatari Giri Putri untuk meneteskan tirtha amertha dari sebuah kendi manik.
Memenuhi titah Bhatara Parameswara di gunung Tohlangkir lalu Bhatari Giri Putri berwujud seorang tua renta dengan membawa air suci ( tirtha amertha ) yang di bungkus dengan daun kaumbang ( sejenis daun talas ), dengan tujuan menguji kesungguhan orang-orang yang memohon air tersebut. Saat itu juga muncul seorang perwujudan dewata yang mengikuti pergumulan dan keluhan dari orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan di sebuah hutan yang juga sangat mendambakan air untuk kelangsungan hidupnya. Dengan tidak sabaran mendengar kata-kata dari seorang tu renta ( perwujudan Bhatari Giri Putri ) yang seperti bergurau untuk menukar air yang ada diatas daun kaumbang itu dengan bukakak kebo ( kerbau bertanduk emas ).
Tak lama kemudian orang tua (perwujudan dewata) itu lalu merogoh air yang ditaruh di atas sebuah ranting kayu dari tanaman perdu yang ditaruh oleh orang tua dalam daun kaumbang itu. Ternyata setelah air itu menetes memerciki tanah, maka muncullah mata air yang sangat besar di sebuah tempat yang sekarang menjadi Telaga Tista, yang konon berasal dari kata tirtha. Bhatari Giri Putri segera tahu bahwa orang yang merogohnya itu adalah perwujudan dewata. Dan karena ketidaksabarannya itu maka ia dikatakan mangkak yang menjadi junjungan (sasuhunan) di sekitar tempat itu yang dikenal dengan sebutan Ida Gde Bangkak (Bhatara Gede Bangkak). Karena yang memohon air itu dan agar menjadi sebuah sunggi adalah Ida Gde ( Bhatara Gde Gumang ), dan agar tidak membahayakan sampai di hilir, maka dititahkanlah Ida Gde Bangkak untuk mempertanggungjawabkan dan mengendalikan perjalanan air itu sampai ke hilir. Dan sepanjang sungai tempat air itu mengalir yakni Telaga Tista ( Telaga Tirta ) sampai ke laut selatan yang disebut Tukad Buhu.
Dalam perjalanan air itu menuju hilir, sesampainya di daerah Bongsana, beliau bertemu dengan Bhatara Gede Gumang yang sedang beryoga di atas sebuah kiskis ( sejenis alat pemangkas rumput di sawah),lalu Ida Gde Bangkak bertanya kepada Bhatara Gde Gumang. Ida Gde akan diarahkan kemanakah aliran air ini? Lalu Ida Gde Gumang menunjukke sebuah bukit yaitu Bukit Penyu (Bukit Dukuh) seraya memohon agar air itu mengalir disebelah baratnya. Maka dipotonglah bukit yang dianggap menghalangi aliran air untuk ke barat. Potongan bukit itu menjadi sebuah gundukan di sebelah utara Batu Koek ( di Daerah Bongsana), maka mengalirlah air itudi sebelah barat bukit Penyu (Bukit Dukuh) sesuai dengan permintaan Ida Gde Gumang. Dan aliran sungai Tukad Buhu itu bisa juga digunakan untuk meruat mala atau membersihkan segala bentuk mala kawisyan ( segala bahaya yang diakibatkan oleh kekuatan magis/ ilmu hitam). Dan tempat reruntuhan dari potongan bukit tersebut dinamakan Ngampan Rempak.
Langganan:
Postingan (Atom)